Selamat malam pembaca setia Gadis Sendu.. ini adalah cerita bersambung pertama yang mampu terselesaikan guna melengkapi tugas ODOP. Terima kasih kepada Bang Syaiha yang memberikan kepercayaan pada kami, juga teman-teman angkatan ODOP batch 2 yang meneror link hingga tak jenak memejamkan mata. Nah... ternyata jika mau dan sedikit di paksa kita bisa hlooo....
Gadis Sendu terdiri dari 20 episode, disarankan untuk membaca urut agar tak ada detail cerita yang terlewat. Happy reading....
1. Episode 1
Awal cerita ini bersetting di dalam ruangan kelas, tokoh yang saya gunakan terinspirasi dari nama sebutan seseorang yang memiliki dewa kematian dalam film "Death Note". Dewa kematian? apakah ini berarti kisah yang saya tulis bergenre horor? tenang... untuk mengetahuinya segeralah membaca episode berikutnya.
2. Episode 2
Dalam episode ini kita bisa tahu kelanjutan cerita dari sudut pandang "KIRA". Siapa Kira? dia lah orang yang memiliki dewa kematian. Jadi beneran horor? bawel deh... baca dulu.
3. Episode 3
Di episode ini pembaca akan mulai merasakan perasaan yang tumbuh sejak pandangan pertama. Oooo, jadi genrenya romance toh.. timpuk nih kalau sok tahu, hhee.
4. Episode 4
Sssstttt.... jangan bagi tahu rahasia menaklukan hati seorang lelaki ya. Biar mereka cari tahu sendiri dalam episode ini.
5. Episode 5
Ada yang pernah atau sedang menjadi anggota Osis ? apa sih motivasi kalian ? mau tahu motivasi dari para tokoh cerita? buru deh baca.
6. Episode 6
Namanya juga murid, selalu ada guru yang tidak disukai dengan berbagai macam alasan. Hayoo ngaku, gimana dengan kalian?
7. Episode 7
Kalau kakak tingkat inceran? hhaa... sapa sih senior yang menarik simpati adik tingkat ini.
8. Episode 8
Cemburu itu apa sih? segala perasaan tak suka kah?
9. Episode 9
Setiap insan memiliki rahasia masing-masing. Rahasia semacam apa sih yang begitu perlu untuk disembunyikan?
10. Episode 10
Aku suka episode ini, silahkan menerka sendiri apa yang akan terjadi selanjutnya. Baiklah, tidak perlu memikirkannya. aku sudah menulis di episode selanjutnya.
11. Episode 11
Flash back sepuluh tahun silam... mau tahu? makannya dibaca atuh...
12. Episode 12
Masih belum cukup? nihhh... kelanjutannya.
13. Episode 13
Mau nambah? kasiiihhhh dahhh....
14. Episode 14
Apa perasaan kalian jika bertemu dengan teman masa kecil saat menginjak remaja? waww... sama ga kayak kisahku?
15. Episode 15
Ingat-ingat pesan nenek untuk berada di dalam rumah kala senja, bukannya keluyuran di luar rumah. hati-hati gengs..
16. Episode 16
Tolong... jangan menghakimi seseorang yang kau lihat sekarang. Dengarlah dulu cerita hidup yang mungkin ia sembunyikan selama ini. Cerita hidup siapa? coba cari tahu.
17. Episode 17
Perlahan, semua misteri akan terungkap. Seiring berjalannya waktu..
18. Episode 18
Tiba-tiba pintu rumahmu di dobrak aparat.. nah hlo, ada masalah apa ini?
19. Episode 19
Seringnya apa yang kita harapkan terjadi tak sesuai dengan kenyataan... masing-masing insan memiliki cara tersendiri untuk menyikapinya.
20. Last Episode
Sekali lagi.. takdir tetap menjadi sebuah misteri bagi umat manusia.
Baiklah... terimakasih sudah meluangkan waktu untuk meladeni cuap-cuap saya. Silahkan tinggalkan komentar yang membangun untuk memperbaiki karya saya.
Gadis Sendu (Tamat)
Klik di sini untuk kisah sebelumnya.
Bangunan
ini berdiri di atas tanah milik negara, pekarangannya sangat luas,
terkesan rapi dengan rumput
jepang
yang terhampar bak permadani, peletakan batu-batu sebagai jalan
setapak menuju pintu rumah seolah sedang berjalan di dalam taman yang
menawarkan keindahan. Tujuan didirikan bangunan ini pun untuk
memberikan harapan baru bagi mereka yang merasa takdir telah
mengambil masa depan, menyisakan suram tanpa cahaya.
Tiga
belas penghuni baru yang kemarin siang baru bergabung terlihat tak
bersemangat mengikuti senam pagi. Mereka terbiasa bangun saat
matahari sudah menyengat karena selalu tidur dini hari. Membersihkan
pekarangan pun dilakukan tak sepenuh hati, penghuni lama masih
sungkan untuk menyapa mereka yang bertubuh penuh tato. Satu-satunya
yang mencolok adalah pemuda tanpa satupun tato yang terlihat, tapi
siapa yang tahu dibalik tubuh berbalut kaos biru toska tersebut.
Barulah
selesai mandi dan berganti pakaian, mereka terlihat lebih segar.
Menikmati sarapan di atas meja besar bersama dua puluhan penghuni
lainnya.
**
“Kak
Alis tidak mau bertemu dengan Kak Frans? hanya ingin memandanginya
dari sini saja?”
Desuu
tersenyum, mendekatkan mulutnya ke telinga Ical, “Aku sedang
mengajarkan sesuatu untuk orang yang sekarang berdiri disampingmu.”
Kira
melirik penasaran, mencuri dengar apa yang dikatakan Desuu. Ia
akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu-waktu terakhir sebelum
Desuu benar-benar jauh dari pandangan matanya.
Mereka
bertiga meninggalkan tempat yang selama lima tahun ke depan akan
menjadi rumah baru bagi Kak Frans dan teman-temannya. Di panti sosial
itu mereka akan disekolahkan, dibekali keterampilan dan dilarang
keras untuk kembali ke jalanan. Pendidikan mental dan keagamaan
ditanamkan kuat pada tiap-tiap penghuni. Negara menanggung segala
biaya.
Meski
harus lima tahun lagi untuk bertemu, Desuu percaya waktu akan
mengembalikan Kak Fransnya yang dulu. Biar takdir yang menetukan
dimana dan kapan akan bertatap.
Selama
perjalanan ke stasiun, masing-masing tenggelam dalam pikirannya, tak
ada percakapan berarti kecuali saat kernet
bus menanyakan
tujuan pemberhentian.
Langkah
kaki berat melangkah ketika memasuki gerbang stasiun. Desuu menatap
lekat mata bulat Ical, “Aku percaya kau pandai menjaga diri. Terima
kasih telah mempertemukan aku kembali dengan Kak Frans.”
Ical...
ahh pemuda itu tetap saja seperti bocah kecil jika berhadapan dengan
Alis, ia menyeka sudut matanya dengan ujung baju. Sedetik kemudian
matanya berkaca-kaca.
Desuu
menarik napas panjang, ia sudah tak mampu lagi mengucapkan kata
perpisahan untuk Kira.
“Kau
tahu Kira.. awal perjumpaan kita membuatku takut untuk berlama-lama
di dekatmu. Namun ternyata kau sungguh keras kepala. Aku kalah
melawan bisikan hati. Pertemanan lawan jenis tidak mungkin bisa
benar-benar murni, aku sudah merasakan perihnya sejak berusia lima
tahun.”
Satu
helaan napas sebelum Desuu melanjutkan kalimatnya.
“Tak
perlu penjabaran lagi untuk segala yang telah kutunjukkan padamu hari
ini. Sakit akan perpisahan ini bukan hanya kau yang merasakan, aku
juga Ical menderita hal serupa.”
“Desuu,
kau seperti berpidato saja. Panjang sekali.”
Kira
mencoba mencairkan sesak di dada.
“Baiklah,
aku pergi. Terima kasih sudah mengantarku.”
Ical
masih sesunggukan
menahan air mata yang berlomba untuk keluar. Matanya menatap nanar
tas ransel yang bergelantung pada tangan kiri Kak Alis, satu-satunya
orang yang ia anggap kakak yang telah, orang yang telah
mengajarinya cara melawan pedih saat dunia mencaci. Ia tak boleh
merengek, Kak Alis tidak boleh melihatnya lemah. Kini senyum coba ia
hadirkan saat lambaian tangan Kak Alis menjadi tanda perpisahan
mereka.
Kira
terlihat lebih tegar, biar duka ini ia simpan sendiri. Ia akan
menagih “waktu” yang kata orang mampu menyembuhkan setiap luka.
Ia mampu memberikan lambaian balasan sempurna sebelum gadis manis
berwajah sendu tersebut menghilang masuk ke dalam
gerbong
kereta.
Peluit
panjang berbunyi, memperlebar jarak di antara mereka. Sekali lagi,
takdir tetap sebuah misteri. Tak seorangpun tahu apa yang tersembunyi
di baliknya.
TAMAT
10 ide dalam lintasan imajinasi
Aku
mencium aroma ketegangan dari tugas kedua ini. Semacam ada hal
terselubung yang nantinya akan menyentakkan pada sesuatu yang tak
terduga. Tapi baiklah, KMO selalu punya banyak cara jitu membuat anak
didiknya menjadi “berkelas”.
10
ide untuk tugas kedua :
1.
Telor
2.
Ayam
3.
Mimpi
4.
Cinta
5.
Jadi yang diandalkan
6.
Bandung
7.
Internasional
8.
Monoton
9.
Letih
10.
Penulis
#TugasKedua
#KMOIndonesia
Gadis Sendu episode sembilan belas
Kisah sebelumnya bisa dilihat di sini
Pelajaran
telah usai sejak satu jam yang lalu, suasana perlahan mulai lengang.
Sesekali melintas satu atau beberapa siswa yang masih memiliki
keperluan di sekolah. Ruangan guru telah kosong pun dengan semua
ruang kelas. Angin menerbangkan suara samar dari lapangan basket yang
tersembunyi di sudut sekolah, bulan depan sekolah mereka akan
mengirimkan atlet-atlet terbaik untuk pertandingan basket nasional.
Menghadap
taman buatan yang kecil namun terawat dengan warna-warni bunga
menjadikan tempat duduk dari semen ini sebagai favorit siswa untuk
bercengkrama, juga tempat yang pas menghabiskan siang melelahkan yang
terasa lebih panjang dari biasanya.
Kira
masih terdiam sesekali melirik gadis disampingnya yang tertunduk
lesu, sorot matanya kosong, wajah sendu itu menghadirkan pilu pada
relung jiwa. Sudah beberapa kali ia melemparkan guyonan untuk menarik
simpati gadis itu, gagal.
Desuu
paham benar ia telah membuat lelaki disampingnya canggung, tapi
salahnya sendiri yang ngotot untuk menemani orang gundah yang entah
kapan akan beranjak pulang. Ia tak hanya sedih dengan kenyataan akan
Kak Frans, betapa ia telah menaruh harapan besar kepada laki-laki
itu. Juga bagaimana caranya menyampaikan salam perpisahan pada
partner gilanya ini.
“Emmm...
Mau aku beliin sesuatu?” Kira tak henti mencoba .
Perhatian
kecil ini sudah berlebihan, akan semakin perih luka yang Desuu
tinggalkan untuk seseorang yang selalu ada disisinya saat
bagaimanapun suasana hatinya. Belum genap enam bulan mereka bersama,
namun enggan rasanya beranjak dari kenyamanan yang ditawarkan Kira.
Kira
menopang dagu, ia menyerah untuk mencoba. Ia akan diam saja, sampai
Desuu sendiri yang menyuruhnya untuk bicara.
Sepuluh
menit berlalu dan tak ada tanda-tanda Desuu akan membuka pembicaraan.
Dua
puluh tiga menit berikutnya, masih sama. Senyap.
Kira
berdiri, ia tak betah berlama-lama duduk tanpa gerakan seperti Desuu,
membuat kebas kaki-kakinya. Bagaimana bisa fakta akan Kak Frans
membuat Desuu macam patung.
Desuu
juga berdiri membuat Kira sedikit mengulum senyum, bukan patung
ternyata.
Sudah
mantap hati Desuu untuk mengutarakannya saat ini, segala resiko sudah
ia pikirkan matang-matang.
“Kira,
aku ingin kembali ke kota.”
Rasa
kebas kini menhujam hatinya, ucapan macam apa ini.
“Desuu,
sudah kubilang di awal bukan... bahwa memang kau tak pantas memiliki
perasaan berlebih terhadap anak jalanan macam Kak Frans.”
Bodoh,
Kira mengumpat dalam hati. Tak seharusnya ia menggoreskan luka baru
di atas luka yang masih menganga, lirih ia berbisik, “Maaf...”
Senyum
getir tergambar jelas, Desuu hanya menunduk meyakinkan hati kecilnya
tentang kebenaran ucapan Kira.
“Tujuan
awalku tinggal sementara di desa ini sudah terlaksana.”
“Tunggu,
maksudmu?”
“Ya..
sejak awal aku sudah mengerti tentang perilaku Kak Frans dan
satu-satunya jalan untuk membantunya adalah mengembalikan ia pada
jalan yang benar. Dan untuk itu semua aku memerlukan bantuanmu.”
“Aku
tidak merasa membantumu.”
“Rasa
ingin tahumu membuka banyak informasi yang aku butuhkan.”
Kira
memijit lembut keningnya, mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan
untuk Desuu.
“Bergabungnya
kita di Osis membuat Kak Frans menyadari kehadiranku di dekatnya,
penguntitanmu meyakinkannya bahwa aku tidak main-main untuk janji
yang telah terucap sebelum memutuskan untuk pindah ke desa.”
“Oooh,
itu karena keinginanku semata, kau tidak pernah memintanya.”
“Karena
aku sudah tahu kau akan melakukan ini.”
“Terima
kasih karena telah membuatku merasa berguna.”
“Aku
akan kembali besok siang.”
Kira
mengacak-acak rambutnya, gemas. Entah apa yang mesti ia lakukan. Tak
mungkin menahan gadis ini, atas dasar apa? Tapi jika membiarkannya
pergi maka semangat hidupnya juga ikut lenyap.
“Kira,
percayalah kau hanya perlu beberapa malam untuk melupakan semua,
jadikan niat awalku untuk memperalatmu sebagai sumber kebencian nyata
yang tak ada penyangkalan.”
Kira
mendesah pelan, konyol mana bisa semudah itu. Dalam hati ia
menyumpahi Kak Frans yang begitu bodoh menyia-nyiakan perhatian
berlebih dari gadis sendu yang tengah menahan air matanya agar tak
tumpah.
“Besok
jam 9 pagi aku dan Ical akan mengunjungi Kak Frans di panti sosial,
setelah itu Ical akan mengantarku ke stasiun untuk keberangkatan
kereta jam 11 siang. Aku pamit pulang, semoga sisa harimu
menyenangkan. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini. Sampai
jumpa.”
Tuhan...
kenapa saat akan berpisah baru kau ijinkan Desuu untuk panjang lebar
dalam berbicara. Beberapa kalimat dalam satu tarikan napasnya, yang
begitu menggembirakan hatiku namun justru berisi ucapan selamat
tinggal.
Kira
tak berniat mengejar Desuu yang semakin jauh, ia masih begitu
terkejut tentang kenyataan bahwa hari-hari setelah ini tak kan sama
lagi. Tunggu, kenapa Desuu harus menjabarkan kegiatannya besok?
Bersambung....
Gadis Sendu episode delapan belas
Untuk pembaca yang penasaran dengan cerita sebelumnya klik Di sini
Suasana
di ruang tamu senyap..
sesekali terdengar lenguhan dari mulut-mulut dengan bau alkohol
menyengat. Beberapa tubuh tumpang tindih di atas sofa, kaki berada di
wajah yang lain, tangan menjulur tanggung menyentuh tanah. Di lantai
berserak tubuh lain juga, mereka tak seutuhnya terlelap, melayang
begitu mereka mendiskripsikan kondisinya saat ini jika ditanya.
Meja
tamu yang berbentuk lingkaran sempurna dengan diameter 70 cm tak
lagi berdiri sebagaimana mestinya, kaki penyangganya terbalik menjadi
di atas, sekelilingnya penuh dengan botol-botol kosong
bergelimpangan. Cipratan
air haram tercecer dimana-mana, bau tak sedap mengudara memenuhi ruangan
yang sebenarnya cukup luas tersebut.
Gubrak....
Pintu
rumah di dobrak paksa oleh beberapa warga
yang mulai curiga dengan kegiatan lepas tengah malam di rumah ini,
diikuti beberapa petugas polisi yang mendapat keluhan.
Tak
berkutik, jelas
kesadaran mereka terbang entah kemana. Dengan mudah petugas
menggelandang mereka menaiki mobil polisi dengan tangan sudah
terborgol.
“Berapa
totalnya, Cal?”
“Mungkin
belasan kak, aku sulit menghitung pastinya.”
Desuu
membisu di balik pepohonan yang melindungi mereka dari pandangan
orang lain. Ia tak menggubris Ical dan Kira yang sibuk sendiri,
hingga Ical menangkap sosok Kak Frans yang juga terlihat limbung di
antara yang lainnya, ada perih di ulu hatinya.
Desuu
melangkah meninggalkan kerumunan warga yang asyik menjadi penonton,
Ical masih terpaku menatap tajam punggung Kak Frans.
“Aku
anter kamu pulang,” tawar Kira. Desuu hanya mengangguk lemah.
Penggerebekan
ini sudah diatur oleh Desuu, informasi terpercaya ia dapatkan dari
Ical yang sering mencuri dengar saat gerombolan tersebut berbicara
ngawur
di balik kebun jati yang ia rawat. Malam ini, yang disebut ayah oleh
Kak Frans mengadakan pesta karena mereka telah berhasil membobol
mesin ATM di kota.
Kira
diajaknya agar jelas semua, tak ada lagi yang akan ia tutup-tutupi.
Semua sudah usai termasuk kesempatannya berada di desa ini. Harapan
tentang janji Kak Frans bahwa semua akan baik-baik saja menguap
sudah. Bagaimana ia bisa percaya kapas putih akan tetap bersih jika
berada dalam kobaran api?
“Desuu...
apa kau baik-baik saja?”
Sekali
lagi yang ditanya hanya mengangguk, pasrah.
Tenang saja Desuu, esok
saat matahari menyinari dunia entah bagaimanapun caranya akan kuhapus
mendung di hatimu.
Sungguh
Kira tak tahu bahwa esok, hatinya yang akan diselimuti mendung.
Bersambung...
Jam Tidur Penulis yang Tergadaikan
Awal
tahun ini sejak saya bertekad untuk serius terjun dalam dunia
literasi semua berubah aneh. Niat itu sebatas dalam hati, namun waktu
perlahan mengajak mulut untuk mengucapkannya. Tidak percaya diri
merupakan ciri kelemahan berdampingan dengan ketidakyakinan akan
kemampuan diri. Ini berbahaya.
Tuhan
itu baik, Maha Baik. Saya “dicemplungkan” ke dalam kumpulan
manusia yang memiliki visi dan misi yang sama. Bergandengan tangan
membangun cita-cita dengan mempertahankan semangat yang sering kali
timbul tenggelam.
Tindakan
setelah itu mulailah mengikuti sosial media para penulis ternama,
membaca karya-karya luar biasa mereka. Ahh.... saya harus meniru agar
suksesnya juga menular, aamiin.
Melongo.
Fakta yang terkumpul benar-benar membuat saya menepis jauh anggapan
bahwa penulis itu enak, kan cuma tinggal menulis. Enak saja, memang
mau menulis apa? Menulis rutinitas monoton yang itu-itu saja, hah?
Bertahan berapa lama? Sayangnya, seringkali pembaca menginginkan
selipan pesan penuh makna dari buku yang mereka baca, dibalut indah
bertabur diksi.
Ada
yang mau alasan sibuk? Tidak punya waktu? Masalah umum yang menjamur
ini mah, hhaaa... upss maaf keceplosan. Penulis best seller seperti
Andrea Hirata, Dee Lestari, Tere Liye memiliki jadwal road show yang
padat merayap. Asma Nadia? Beliau malah jalan-jalan ke luar negeri
tuh, mengontrol syuting film dari novel karyanya dan tetap produktif.
Manajemen
waktu menjadi kunci seorang penulis untuk menghasilkan karya yang
luar biasa. Tapi, mari berpikir.. ngapain coba mereka repot-repot
begadang, belajar, membaca buku, riset? Mending tidur nyenyak di atas
kasur empuk dengan selimut hangat.
Pembaca
setia mereka paham bahwa karya mereka mampu melembutkan kerasnya
hati, mendidik setiap insan yang ingin belajar, juga begitu
menginspirasi.
Saya
sebagai manusia papa
di
bumi ini sudah cukup nelangsa,
jelas tak ingin merana pula di akhirat kelak. Rugi benar. Semoga
Tuhan menilai karya saya sebagai amal jariyah hingga Dia memberikan
kasih sayang-Nya dan mengijinkan hamba tinggal di surga-Nya, aamiin.
Inilah
alasan saya ingin menjadi seorang penulis best seller.
Gadis Sendu episode tujuh belas
Di sini kamu bisa membaca cerita sebelumnya..
Tak
ada yang aneh di rumah Kak Frans, semua terlihat normal. Ya
benar-benar normal. Ayahnya datang menyuguhkan teh hangat dan
beberapa ubi rebus yang masih mengepul. Beliau berbincang denganku
selama sepuluh menit lalu pamit untuk beristirahat. Kak Frans
benar-benar menjadi anak penurut di depan ayahnya.
Pun
tak banyak yang bisa kugali karena selebihnya kami hanya berdiam
diri, menyesap teh perlahan sambil menguliti makanan empuk nan manis
tersebut. Canggung aku menanyakan hal-hal pribadi, takut ayahnya
mendengar. Tiga puluh menit aku mengundurkan diri. Senyum mengembang
di wajah Kak Frans, sungguh begitu teduh.
**
“Desuu,
pusing benar kepalaku. Maukah kau antar aku ke uks sekarang?”
Tatapan
gadis itu penuh selidik, astaga keringat dingin mengucur membasahi
kening. Aku bukan penipu ulung dihadapannya. Tapi akhirnya ia
mengangguk. Sebelum kami meninggalkan kelas, Desuu telah menitip
pesan untuk mengijinkan kami kepada Pak Ario jika beliau datang
nanti.
Aku
merebahkan tubuhku di atas ranjang kecil dengan sprei hijau muda,
merenggangkan otot sebelum memulai percakapan serius.
“Jadi...
apa yang mau kau bicarakan denganku?”
Sungguh
aku lupa, Desuu tahu segalanya hanya dengan membaca bahasa tubuh
orang lain.
“Ini
tentang Kak Frans”
Ia
mengangguk.
“Aku
kemarin bertandang ke rumahnya, sempat mengobrol dengan
ayahnya...”.Sengaja
menggantung kalimat, namun sial Desuu tetap tak merespon.
“Dan
saat pulang aku bertemu dengan Ical.”
Tebakanku
salah besar. Seharusnya saat nama Ical kusebut ia terancam dengan
informasi valid
yang kudapatkan.
“Dengar
Desuu, kau sungguh terlalu berlebihan juga tidak sepantasnya
berkorban sangat besar untuk preman macam dia.”
Desuu
berdiri, menjauhi ranjang lalu menghilang di ujung pintu uks.
Ini
menyakitkan, aku berharap Desuu akan menamparku karena telah berkata
tak sopan tentang Kak Frans atau memakiku bahwa meskipun tuduhannya
benar tak seharusnya aku mengatakan semua itu.
Kuputuskan
untuk sejenak mengistirahatkan jiwa yang lelah, hingga gadis manis
itu muncul kembali. Langkah kecilnya yang pasti mendekati tempat
tidur, wajahnya tak mampu kutebak sedang memikirkan apa. Lirih ia
berbisik, mungkin agar guru piket tidak mendengar.
“Kau
sungguh perlu beristirahat sekarang, temani aku melancarkan aksiku
malam ini.”
Gadis
itu pergi meninggalkanku dengan sejuta tanda tanya. Kali ini apa yang
akan ia lakukan? Tiba-tiba bagaikan ratusan jarum yang entah datang
darimana menusuk kepalaku, pening.
Bersambung...
Gadis Sendu episode enam belas
Mau tahu cerita sebelumnya, silahkan tengok di sini
Setelah
sore itu...
Ical
duduk menempelkan punggungnya pada pohon jati, kami membentuk
lingkaran kecil di tengah hutan ini tanpa beralaskan apapun. Kami
yang aku maksud adalah aku, Ical dan lelaki yang menyebut namaku
kemarin, Kak Frans.
Pertemuan
yang telah Ical rencanakan, ia tak ingin pertemuan kami dimulai
dengan prasangka yang tidak semestinya. Apa pun itu, aku wajib
mendengarkan setiap kisah Kak Frans.
Hening...
desau angin menjadi satu-satunya suara di siang yang terik ini.
Helaan napas tertahan terdengar lirih sebelum Kak Frans mulai
bercerita.
“Hidupku
berat, Aliss.. sungguh berat.”
Tanganku
sibuk membentuk garis tak beraturan di atas tanah.
“Aku
terlahir dari rahim seorang ibu yang baik. Hingga saat ia menyadari
satu hal bahwa kelak anak laki-lakinya akan membongkar aib masa
lalunya.”
Ical
takzim tak menyahut.
“Kakek
dan nenek mengambil hak asuh saat mataku belum sempurna membuka. Ibu
terlalu ringan tangan dan terlupa bahwa sentuhannya harus sedikit
lembut pada bayi lemahnya. Tubuhku tidak merah seperti kebanyakan
bayi yang lain, ada sedikit warna biru.. ya, nenek yang
menceritakannya saat aku bertanya kemana ibu pergi.”
Tak
ada yang menyahut.
“Pagi
itu mereka
membawaku untuk imunisasi, becak yang mengantar kami tersenggol bus
antar kota antar provinsi yang melaju cepat. Tubuh kami terpelanting,
beserta tukang becak di
jalan beraspal.
Aku menangis sendiri menyadari darah mengalir dari masing-masing
kepala mereka. Hanya dua tahun kami diijinkan bersama.”
Kak
Frans menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Aku
ditolong dan dibawa oleh seseorang yang mengajariku bertahan hidup di
jalanan. Apa pun yang bisa kau lakukan untuk mendapatkan sesuap nasi,
maka lakukanlah. Itu hal yang ia tanamkan selalu.”
Aku
mengerti benar ia sedang menunggu
respon dariku.
“Bunda
Elin mengembalikan masa kecilku tiga tahun kemudian. Dalam hitungan
bulan kau hadir menyempurnakan semuanya.”
Sesak
di dadaku muncul kembali.
“Keputusan
untuk meninggalkan panti diam-diam membawaku kembali ke jalanan.
Bertemu
kembali dengan orang yang dulu berbaik hati merawatku sejak
kecelakaan itu. Ia menentang keinginanku
untuk bersekolah, buang-buang uang katanya. Namun ia luluh saat aku
katakan bahwa dengan berpendidikan kita lebih mudah untuk mendapatkan
segala yang kita inginkan. Tidak perlu takut masuk keluar jeruji besi
jika warga memergoki ayamnya raib tengah malam kemarin. Penjara tak
memiliki kekuatan jika kita berpangkat.”
“Dari
mana kau tahu semua itu, Kak?”
Ical
akhirnya angkat bicara. Ada nada kecewa kenapa bukan
aku yang berkomentar.
“Aku
membaca huruf yang dicetak besar-besar pada koran yang kugunakan
sebagai
alas tidur.”
Bocah
itu manggut-manggut.
“Semua
uang sekolah dibiayai olehnya, jadi aku berkewajiban untuk
menyetorkan uang setiap hari. Dia sangat senang melakukan ini semua,
menyekolahkanku adalah investasi
baginya.”
Aku
tak tahu harus bagaimana, semua ini masih sulit untuk diterima.
“Alisss...
kumohon, bicaralah.”
“Kesalahan
besar kau pergi dari panti.”
Kali
ini dengan berat Kak Frans siap membela diri, “Terlalu sakit berada
pada kenyataan dimana memang kau tidak diharapkan.”
Tatapan
benciku menghujamnya, “Bunda Elin tidak seperti itu.”
“Bukan
Bunda Elin, tapi mereka. Anak-anak yang dibawa oleh orang tua angkat
mereka akan kembali ke panti, memerkan mainan baru dan juga
mengolok-olok yang masih tertinggal.”
“Tak
seharusnya itu membuatmu meragukan kasih sayang Bunda Elin.”
Gelengan
lemah Kak Frans membuka fakta baru, “Tidak sesederhana itu, Alis.
Kau memiliki Ibu yang luar biasa menyayangimu.”
“Kau
punya Bunda Elin.”
“Berhenti
menyalahkanku, sebaik apapun Bunda Elin dia tetap bukan ibu
kandungku.”
Aku
beringsut menyadari nada suara Kak Frans yang meninggi. Ical masih di
posisinya semula.
“Maafkan
aku, Alis. Percaya padaku semua akan baik-baik saja. Aku berjanji
padamu.”
Aku
sudah berdiri sempurna, “Ical, antarkan aku pulang.”
Ical
terburu-buru menggunakan
sandal jepitnya. Kami meninggalkan Kak Frans yang masih tertunduk
lesu.”
Takut-takut
Ical berbisik padaku, “Kak Alis, mengertilah keadaan Kak Frans.”
Senyum
mengembang di wajahku merubah rona muka Ical seperti sedia kala, ia
selalu tahu kakaknya ini tak akan mudah marah.
“Tenang
saja, aku akan membantu Kak Frans. Yang terpenting, rahasiakan
kepindahanku ke
desa
ini.”
Mata
Ical mengerjap, terlihat kelegaan luar biasa disana.
Bagaimanapun cara takdir
mempertemukan kita, tak akan mudah untuk merobek rasa yang telah
tertanam kuat. Kak Frans, gadis kecilmu ini akan hadir
untuk kembali
membawamu terbang. Percayalah.
Bersambung...
Romantisme yang Aku Janjikan
Selalu
kalah jika beradu kata denganmu. Padahal aku jago membuat kaum adam
melayang dengan ucapan-ucapanku selama ini. Entah kenapa tidak
berlaku untukmu.
Jarak
menimbulkan ragu, tak mengapa. Mesti berulang kali sepakat untuk
yakin namun terkadang muncul alasan untuk sekedar pembuktian.
Tahukah
engkau? Sekuat tenaga kukerahkan untuk merangkai sajak. Mencoba
membuatmu percaya bahwa rasaku sama dengan getaran yang kau rasakan.
Tenang
saja, banyak orang baik yang akan mengajariku menjadi puitis.
Bukankah kau juga terlahir dari kalangan tersebut hai pujanggaku?
Pagi
hadir lagi, membuka mata untuk membalas sapaanmu. Dan kau bertanya
tentang menu hari ini. Ahhh... kau memang banyak maunya. Tak apa, aku
tetap suka.
Peluh
mengucur membasahi pelipis, kau tak perlu tahu hal ini. Sungguh ini
sangat memalukan.
Sekali
lagi... tenang saja … tenang...
Kututurkan
jawaban atas segala gundahmu.
Untukmu
yang disana.
Jika
kau butuh bukti tentang kesetiaanku, tanyakan pada mereka..
orang-orang terdekatku, bapak, mama, kakak, adik juga sahabat-sahabat
dekat.
Tanyakan
pada mereka yang pernah mencicipi hasil masakanku.. simpan sendiri,
rahasiakan aibku.
Tak
apa.. mereka pula yang akan menjadi guru untukku. Mendidik penuh
sabar mengajariku, tak apa.. jika sedikit keras bahkan galak.
Dunia
modern tidak membatasi apapun, namun sungguh aku butuh mereka untuk
mengontrol panas api, memilah beragam sayur yang layak, memastikan
kematangan daging, juga menakar garam dalam arti “secukupnya”
dalam resep masakan. Kasih, memasak tidak sesimpel itu, terlebih
untukku.
Kau
jangan lupa tersenyum disana, wanitamu sedang berupaya mewujudkan
janjinya. Semua akan baik-baik saja. Yang terpenting nama-nama
makanan yang kau suka sudah kukantongi.
Pendidikku
akan memastikan bahwa suatu saat nanti... kau akan menikmati hidangan
favorite
dalam menu makan siang kita.
Ini
romantisme yang aku janjikan.
Berjuanglah
cintaku.. pesanlah waktu agar aku mampu menepati janjiku.
Gadis Sendu episode lima belas
Untuk cerita yang lalu, tengok ini
Hari ketiga di rumah nenek,
Ibu telah memutuskan untuk mengabulkan permintaanku. Rasa melayang
bak mendapat siraman sinar mentari yang menyembul di tengah lebatnya
hutan hujan. Hangat menjalar keseluruh tubuhku, gembira tak terkira.
Terlalu sore aku menapaki
jalanan sempit menuju rumah yang Ical tunjukan, tak begitu jauh dari
rumah nenek. Urung menaiki sepeda karena tegalan sawah yang becek
juga rawan terjun bebas
masuk ke sungai-sungai deras.
Memasuki ladang tetangga yang
luas dan sepi menciutkan nyaliku, tapi tak apa sebentar lagi akan
sampai. Terdengar suara bercakap-cakap di ujung kebun, akhirnyaa...
aku mempercepat langkah.
“Duhh gusti..
rejeki diparani wong wedok ayu”
“Rene nduk, ngancani kang
mas”
Kepalaku berdenyut hebat...
dejavu.
“Boss, ayu
hlo iki.”
“Orasah do macem-macem,
jaluk duite ae”
Suara yang kuduga bos mereka
terdengar serak seperti tak seutuhnya sadar. Aku memasang kuda-kuda
bersiap saat salah satu dari pemuda mabuk tersebut mendekatiku.
Mengelak halus saat tangan kotornya berusaha menyentuh wajahku.
“Uis to nduk, gorene duwitmu
kabeh.”
Aku bergeming. Di dalam otakku
sedang bersiap balik kanan dan kabur sembari mengumpat diri. Kenapa
menolak niat baik Ical yang ingin mengantarku? Kenapa tak menurut
nasihat nenek untuk pergi besok pagi saja?”
Gedebum...
Bagus... kuda-kudaku tak
berguna.. aku terlalu dalam membayangkan hingga hilang kewaspadaan.
Segera bangkit dan melakukan perlawanan. Perebutan hak milik dari tas
kecilku terjadi sengit. Tendangan bertubi-tubi menjadi hadiah bagi
lelaki yang terhuyung-huyung di depanku. Yang lain tertawa mengejek.
“Karo cah wadon kok
kalahan.”
Merasa diremehkan, lelaki itu
dengan kasar mendorong tubuhku hingga terjerembab. Menendang tangan
yang mencengkram kuat-kuat tas kecilku.
Sadar akan posisi aku berniat untuk berlari, tak peduli dengan isi
tas yang kini sudah bertebaran di atas tanah.
Belum juga melangkah tanganku
dicengkram kuat, tapi bukan oleh lelaki yang tadi. Lelaki ini
memaksa untuk masuk ke dalam
ladang, dibelakang terdengar
riuh suara mereka
meneriakkan hal-hal yang tak kupahami. Aku berusaha untuk melawan,
sia-sia. Kugigit lengan kekarnya, dan berhasil membuatnya terpaksa
melepaskanku. Berlari
sekuat tenaga tanpa menoleh.
“Aliss....”
Tidak... jangan... jangan
suara itu... kumohon...
Mendadak kakiku berat
melangkah, perlahan kutolehkan wajahku mencermati seseorang yang
memanggil. Lidahku kelu. Kenapa harus dipertemukan dengan cara yang
seperti ini?
Bersambung....
Gadis Sendu episode empat belas
baca juga cerita sebelumnya di sini
“Sejak saat Kak Frans pergi dan Kak Alis tidak pernah menjenguk kami lagi, aku memohon ijin kepada Bunda Elin untuk pergi dari panti.”
1 tahun yang
lalu...
Bayangan Kak
Frans mulai memudar seiring bergantinya musim... langkah berat ini tak lagi
semata beralasan olehnya, ada hal besar lain yang kini memenuhi pikiran. Kak Bella, kakak kandung satu-satunya berniat
melanjutkan sekolah ke kota Paris untuk memenuhi hasratnya akan mode. Ibu menimbang
penuh perhitungan karena sebagai single parent ia memiliki tanggung jawab besar
melindungi kedua belah hatinya. Paman membuka lebar rumahnya sebagai tempat
bernaung jika Ibu menemani Kak Bella di negeri orang.
Sekarang, Ibu
sedang mencurahklan segala gundah gulananya kepada nenek, perempuan yang mengajarkan arti tangguh pada ibu. Aku menolak
mendengar diskusi mereka. Kebun jati tak jauh dari rumah nenek menjadi tujuanku
mengasingkan diri, menikmati hembusan angin juga dedaunan kering yang berserak.
Di desa kecil ini, tempat dimana aku dilahirkan tidak banyak berubah sejak
kutinggalkan delapan tahun lalu untuk pindah ke kota. Hidup berdekatan dengan
paman.
Bayangan hitam
melintas cepat di belakang, tertangkap ekor mataku dengan kilat. Ahhh,
mungkin hanya daun kering lagi yang terjatuh. Kali ini disusul langkah kaki
yang sedikit berlari. Oke, ini bukan daun. Kutolehkan wajah untuk mengecek ke
belakang, nihil. Dan seseorang telah berada di depan saat aku kembali ke
posisi semula.
Senyum manis
itu tak jauh dari wajahku, membuatku serasa mati berdiri. Tinggi badannya tak
jauh berbeda, tubuhnya kekar dan juga hitam. Yang tak bisa terlupa adalah pitak di kepala sisi kanannya yang bagaimanapun mencoba tak mampu
tertutup oleh rambut ikalnya.
“Icaalll....”
Bocah kecil
itu terkekeh. Jika dulu aku selalu memeluknya saat bertemu kali ini ada rasa
canggung karena kami telah tumbuh dewasa.
“Kak Alis ga
meluk aku?”
Ku jitak
kepalanya, “Ku tendang jika kau mulai menggoda.”
Tawa renyahnya
tak berubah, senyum polosnya melemparkanku saat ia masih di panti asuhan Bunda
Elin.
“Sesuai
perkiraanku, Kak Aliss akan tumbuh menjadi gadis cantik.”
Tinjuku sudah
berada di depan wajahnya jikalau ia mulai meracau lagi.
“Kenapa kau
bisa ada disini, Cal?”
“Sejak saat Kak Frans pergi dan Kak Alis tidak pernah menjenguk kami lagi, aku memohon ijin kepada Bunda Elin untuk pergi dari panti.”
“Maafkan aku
Cal”
“Yang berlalu
tak perlu disesali, Kak. Bunda mengijinkanku untuk ikut dengan kerabat yang
tinggal di sini setelah memastikan mereka benar kerabatku.”
“Ngawi memang
kota yang meneduhkan. Kau sekolah disini?”
“Itu harus,
dan aku bekerja di kebun jati ini sebagai balas budi kepada mereka.”
Aku memandang
Ical dengan takjub. Semangat anak ini luar biasa, tidak pernah padam.
“Kak Alis ada
apa kemari?”
“Ada perlu
dengan nenek. Tunggu, jadi ini kebun jati yang kau maksudkan?”
“Jadi rumah
nenek Kak Alis berada dekat sini?”
Aku
mengangguk. Ical tersenyum bahagia.
“Kakak harus
pindah kesini, kita harus membayar waktu-waktu lalu yang terbuang.”
“Sungguh aku
terharu menjadi orang yang kau rindukan.”
Ical menunduk
malu.
“Kak Alis...”
“Hemmm... ya?”
“Kak Frans ada
disini.”
Hatiku berdesir,
entah rasa apa ini. Kepalaku berdenyut dan kedua telapak tanganku berubah
dingin.
“Ia juga
bersekolah di SMA Nasional Dua.”
Tak ada kata
perpisahan, aku meninggalkan Ical yang termangu. Berlari sekuat tenaga
menuju rumah nenek. Ibu tak perlu setengah hati untuk meninggalkanku di sini. Semua
akan baik-baik saja, kuputuskan untuk tinggal bersama nenek. Merengkuh kembali
kenangan masa kecil bersama ical dan juga Kak Frans.
Kak Frans...
ada yang perlu kita selesaikan.
Bersambung...
Subscribe to:
Posts (Atom)
Modal Nulis Dapat Barang Gratis
Hai, hai... gimana sensasi baca judul di atas? Hhii, percaya ga? Harus percaya dong. Nih aku kasih bukti nyata. Awalnya aku mau buka bisni...


-
Seorang Tuan Putri berdiri di bawah rintik air langit, matanya menerawang jauh ke dalam hutan, ia tak beranjak meski hujan sem...
-
Hay kawan, kalian pernah lihat teman atau bahkan saudara yang upload gambar diri mereka di puncak gunung dengan tulisan ...
-
“Hey Ci, tadi aku melihat dia meletakkan sampah di keranjang sepeda minimu” “Biarkan saja” “Tidak bisa begitu, kau ha...
