Gadis Sendu episode empat belas

3 komentar
baca juga cerita sebelumnya di sini



1 tahun yang lalu...

Bayangan Kak Frans mulai memudar seiring bergantinya musim... langkah berat ini tak lagi semata beralasan olehnya, ada hal besar lain yang kini memenuhi pikiran.  Kak Bella, kakak kandung satu-satunya berniat melanjutkan sekolah ke kota Paris untuk memenuhi hasratnya akan mode. Ibu menimbang penuh perhitungan karena sebagai single parent ia memiliki tanggung jawab besar melindungi kedua belah hatinya. Paman membuka lebar rumahnya sebagai tempat bernaung jika Ibu menemani Kak Bella di negeri orang. 

Sekarang, Ibu sedang mencurahklan segala gundah gulananya kepada nenek, perempuan yang mengajarkan arti tangguh pada ibu. Aku menolak mendengar diskusi mereka. Kebun jati tak jauh dari rumah nenek menjadi tujuanku mengasingkan diri, menikmati hembusan angin juga dedaunan kering yang berserak. Di desa kecil ini, tempat dimana aku dilahirkan tidak banyak berubah sejak kutinggalkan delapan tahun lalu untuk pindah ke kota. Hidup berdekatan dengan paman.
 
Bayangan hitam melintas cepat di belakang, tertangkap ekor mataku dengan kilat. Ahhh, mungkin hanya daun kering lagi yang terjatuh. Kali ini disusul langkah kaki yang sedikit berlari. Oke, ini bukan daun. Kutolehkan wajah untuk mengecek ke belakang, nihil. Dan seseorang telah berada di depan saat aku kembali ke posisi semula.

Senyum manis itu tak jauh dari wajahku, membuatku serasa mati berdiri. Tinggi badannya tak jauh berbeda, tubuhnya kekar dan juga hitam. Yang tak bisa terlupa adalah pitak di kepala sisi kanannya yang bagaimanapun mencoba tak mampu tertutup oleh rambut ikalnya.

“Icaalll....”

Bocah kecil itu terkekeh. Jika dulu aku selalu memeluknya saat bertemu kali ini ada rasa canggung karena kami telah tumbuh dewasa.

“Kak Alis ga meluk aku?”

Ku jitak kepalanya, “Ku tendang jika kau mulai menggoda.”

Tawa renyahnya tak berubah, senyum polosnya melemparkanku saat ia masih di panti asuhan Bunda Elin.

“Sesuai perkiraanku, Kak Aliss akan tumbuh menjadi gadis cantik.”

Tinjuku sudah berada di depan wajahnya jikalau ia mulai meracau lagi.

“Kenapa kau bisa ada disini, Cal?”

“Sejak saat Kak Frans pergi dan Kak Alis tidak pernah menjenguk kami lagi, aku memohon ijin kepada Bunda Elin untuk pergi dari panti.”

“Maafkan aku Cal”

“Yang berlalu tak perlu disesali, Kak. Bunda mengijinkanku untuk ikut dengan kerabat yang tinggal di sini setelah memastikan mereka benar kerabatku.”

“Ngawi memang kota yang meneduhkan. Kau sekolah disini?”

“Itu harus, dan aku bekerja di kebun jati ini sebagai balas budi kepada mereka.”

Aku memandang Ical dengan takjub. Semangat anak ini luar biasa, tidak pernah padam.

“Kak Alis ada apa kemari?”

“Ada perlu dengan nenek. Tunggu, jadi ini kebun jati yang kau maksudkan?”

“Jadi rumah nenek Kak Alis berada dekat sini?”

Aku mengangguk. Ical tersenyum bahagia.

“Kakak harus pindah kesini, kita harus membayar waktu-waktu lalu yang terbuang.”

“Sungguh aku terharu menjadi orang yang kau rindukan.”

Ical menunduk malu.

“Kak Alis...”

“Hemmm... ya?”

“Kak Frans ada disini.”

Hatiku berdesir, entah rasa apa ini. Kepalaku berdenyut dan kedua telapak tanganku berubah dingin.

“Ia juga bersekolah di SMA Nasional Dua.”

Tak ada kata perpisahan, aku meninggalkan Ical yang termangu. Berlari sekuat tenaga menuju rumah nenek. Ibu tak perlu setengah hati untuk meninggalkanku di sini. Semua akan baik-baik saja, kuputuskan untuk tinggal bersama nenek. Merengkuh kembali kenangan masa kecil bersama ical dan juga Kak Frans.

Kak Frans... ada yang perlu kita selesaikan.

Bersambung...
 
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

3 komentar

  1. Sragen ngawi..kanan kiri hutan jati

    BalasHapus
  2. Jangan bilang urusannya terkait hutang piutang ya mba. Heheh..😀😀

    BalasHapus

Posting Komentar