Pacaran di Semak-Semak

1 komentar
"Boleh kan sekali-sekali kita pacaran di taman?"

"Ahh, males ahh, nanggung di taman itu, cuma bisa pegangan tangan doang."

Eh, memangnya dia mau apa?

"Nanti kuajak ke suatu tempat yang indah."

Benar saja, sore itu pukul lima kurang sepuluh menit dia kembali mengajakku ke tempat yang siang tadi dijanjikan. Setelah melewati jalan beraspal yang berkelok kami berhenti di sebuah lahan kiri jalan. Sudah ada tiga anak perempuan di situ, tapi anehnya cuma ada satu motor. Aku menunjuk ke arah depan, memberikan isyarat untuk memarkir motor tidak di sekitar mereka, bahkan di depan pun ada dua anak laki-laki yang lebih kecil sedang berjongkok, salah tingkah dengan kedatangan kami.

"Di sini?" tanyaku.

Dia mengangguk, kemudian menggandeng lenganku melewati pecahan botol warna hijau, ada juga bungkus snack dan putung rokok.

"Eh, kemana?" Aku mulai panik sebab dia tak berhenti berjalan, sekeliling kulihat pepohonan yang terbakar, seluruh daunnya menguning, entah sengaja atau akibat kemarau panjang.

Tak ada jawaban, aku cemas memikirkan nasib motor yang sudah tidak terlihat mata.

"Ke sini, Dek. Letakkan saja tas dan jaketmu."

Aku mengikuti isyarat tangannya dan meletakkan segala yang disebutkan di atas sisa pohon yang terbakar.

"Bagus kan?"

Aku mengangguk setuju, pohon-pohon yang menjulang ini berwarna coklat, daun-daun berserakan di tanah, eksotis seperti yang sering kulihat tentang musim gugur di eropa sana. Di depan mata, tentu dengan jarak yang lumayan jauh, hutan cemara hijau menghampar, perpaduan sore yang mengagumkan sempurna dengan warna langit yang cerah.



"Hey, wajah khawatirmu itu bisa tidak dihilangkan?"

Aku mencoba tenang, tersenyum simpul. Baiklah, kita terlalu jauh masuk ke dalam kebun ini. Ada banyak hal yang aku khawatirkan, eh dia malah tenang saja.

Tangannya menggenggam jemariku, tersenyum menatap lekat mataku,"Agak dekat denganku," bisiknya. Jantungku berdegub.

Cekrek... cekreekk... cekreeekkk....

Belasan foto diabadikan lewat lensa kamera. Aku sudah tenggelam menikmati hingga sedikit terkejut menyadari bahwa ada empat laki-laki yang sudah bergabung bersama perempuan tadi. Aku mulai tak nyaman, beruntung dia segera mengajakku pulang mengingat senja sebentar lagi datang.

Setelah melewati perkampungan, aku menoleh ke kanan dan kiri memastikan tak ada orang kemudian memeluknya, berbisik lembut hampir menyentuh daun telingannya yang tidak menggunakan helm, mengucapkan terima kasih telah mengajakku jalan-jalan. Dia memelankan laju motor sembari kami bercanda mesra, tiba-tiba ada motor yang mendahului dan melambat tak jauh di depan kami, menggelengkan kepalanya kemudian menancap gas menghilang dengan cepat. Aku terlejut, duh, ketangkep basah.

"Pasti orang itu beristighfar dalam hati yah liat kita."

Aku mengangguk menanggapi.

"Dasar anak muda jaman sekarang."

Kami tertawa, tapi tentu saja aku sudah melepaskan pelukanku.

"Eh, jangan berburuk sangka."

"Hhaa... habis dilihat dari situasi dan kondisi juga gerak tubuhnya sih begitu maksudnya."

Kembali kami tertawa.

Ini keberkian kalinya kami mengalami situasi semacam ini. Merasa di awasi banyak pihak setiap berkunjung ke suatu tempat, entah semak-semak, kebun teh, bahkan obyek wisata sekalipun. Tidak nyaman melihat tatapan mereka.

Dulu tidak nyaman dengan tatapan laki-laki setiap berjalan sendirian, kukira cincin yang melingkar di jari manis menjadi solusinya eh sekarang sudah jalan berdua pun menjadi korban dari orang-orang yang terlanjur menilai rata setiap pasangan muda-mudi yang berboncengan, duh, tetiba pengen punya dedek kecil aja kalau gini.

Lagian kami juga hanya ingin berfoto, mengabadikan lukisan alam yang Tuhan cipta. Kami sudah menikah dan kami ingin pacaran.

Hhaa, menggelikan memang. Harusnya tak perlu was-was toh jika digrebek kami bisa menunjukkan bukti, tapi entahlah, memandang semua sama masih menjadi pekerjaan besar untuk kita, menilai dari kaca mata sendiri, sesuka hati menghakimi. Mungkin yang bisa kami lakukan adalah tidak membiarkan orang lain menerka kami yang tidak-tidak, kami sepakat berpegangan tangan hanya saat berfoto saja, selebihnya jika ditempat umum ya biasa saja, aku bahkan menolak jika dia hendak mengenggam untuk membantu melewati jalanan terjal, duh, kenapa kami terlalu khawatir orang menilai tidak baik kepada kami? Allah... jaga kami, jaga anak-anak kami.

Tulisan ini menjadi pelarian dari kekecewaan saya, hhaa... entah harus bagaimana, setidaknya dengan menulis suasana hatiku membaik.

Teman... bukankah kita tak bisa diam saja? Bukankah harusnya kita jadi pelopor? Lebih berhati-hati dalam berbuat agar kelak orang lain tidak merasakan dampak buruknya.

Semangat berbagi... semangat memberi arti.

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

1 komentar

  1. Aih, memjadi pengantin baru memang akan alami rasa tidak biasa dengan situasi padahal sudah halal dan disahkan penghulu, hi hi.

    Penilaian orang yang tidak tahu tetapi menyamaratakan itu barangkali sebentuk rasa cemburu, atau malah selalu berprasangka dalam wataknya, atau kepingin mesra saja tetapi belum atau tudak kesampaian, ha ha.
    Selalu ada hal baru dalam hidup, setiap harinya.

    BalasHapus

Posting Komentar