Malam
ini bulan tertutup awan, tak ada bintang juga cahaya apa pun, langit
kelam tapi tidak mendung. Sendiri aku duduk di beranda menatap
lengang jalan raya beraspal, persisnya ada dua hektar sawah hijau
menghampar yang memisahkan rumahku dengan jalan raya.
Semilir
angin menerpa wajah, membekukan sejenak dan perlahan membuat pucat.
Semesta
mengirimkan cerita tentang seorang anak belasan tahun yang baru saja
terperosok ke dalam parit saat bermain sepeda sore tadi.
“Ibu,
kenapa tidak marah?”
Sang
ibu hanya tersenyum, cekatan tangannya membersihkan luka menganga
yang darinya mengucur deras cairan kental berbau anyir dan mulai
mengoleskan apa pun yang bisa mengobati dan menghentikannya.
Bagaimana bisa ia marah kepada buah hatinya? Seseorang yang berpijar
di tengah kemelut kalut dunia.
“Jika
ibu marah apakah kamu akan mengatakan jujur jika kelak terjatuh
lagi?”
Si
anak mengangguk, matanya berbinar, ia melupakan segala rasa sakit di
sekujur tubuhnya, memeluk raga yang menularkan rasa hangat yang
teramat.
“Apa
lukaku akan sembuh, Bu?”
“Iya
Nak.”
“Apakah
setiap luka akan sembuh, Bu?”
Si
Ibu terdiam, ditatapnya lamat kedua mata kecil itu, ada harapan di
sana yang membara.
“Pasti
sembuh, Nak.”
Harapan
tak boleh padam, si Ibu meyakini itu.
“Meskipun
tidak ada obat untuk mengoles luka?”
Kali
ini tak ada jawaban, mata si Ibu menggenang, kuat ia menahan agar tak
terbentuk sungai yang membelah pipinya.
“Meskipun
tidak ada tangan Ibu yang kelak membersihkan luka?”
Mendongak
si Ibu, cara terakhir menahan bendungan di pelupuk mata,
“Kenapa
Ibu harus menahan diri untuk tidak menangis? Menangis saja.”
Kali
ini hancur sudah dinding pertahanan yang lama dibangun, retakan kecil
yang tercipta meruntuhkan keyakinan kokoh selama ini.
“Akan
ada penganti Ibu yang mengoles lukamu, akan ada seseorang yang
mengantar obat untuk menyembuhkan lukamu.”
“Ibu,
boleh aku bertanya lagi?”
Anggukan
kecil menjadi jawaban, sibuk tangan tua itu menyeka air mata yang
sulit dihentikan.
“Apa
itu benar akan terjadi, Bu?”
Si
Ibu mengangguk mantap, “Saudara kita banyak Nak, mereka tidak akan
diam melihat kita terluka, mereka peduli kita, mereka akan segera
menolong kita.”
“Ibu,
aku hendak berkata jujur sebab aku tahu engkau tak akan marah.”
Senyum
mengubah air muka si Ibu, “Katakan, Nak.”
“Ibu
tahu aku tidak punya sepeda, dan luka ini...”
Pelukan
erat si Ibu membungkam si anak. Ia tahu, ia tahu apa yang terjadi.
Malam
ini saat aku menyesapi keheningan di desaku yang aman mungkin saja si
Anak dan si Ibu tengah kembali membangun keyakinan akan
saudara-saudaranya yang datang untuk melukiskan senyum kembali di
wajah mereka, kelak. Asap tebal membumbung, ledakan memekikkan
telinga, jerit ketakutan memenuhi angkasa.
Pertolongan
akan datang. Dengan ijin Allah.
#IslamBersaudara
#SaveRohingya
Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami yang sedang didzalimi di Rohingya, maupun di belahan bumi mana pun.
BalasHapus#hanyadoayangbisakulakukan
Sediih...
BalasHapus