Aku muncul untuk ikut meramaikan kegiatan yang berpusat di dua meja besar ukuran tiga meter persegi yang dikelilingi tujuh kursi plastik warna biru langit. Selain itu ada yang harus aku kerjakan.
Dia pemuda dengan tinggi hampir mencapai seratus tujuh puluh centimeter, pendiam dan paling pertama mendiami mushola saat panggilan shalat berkumandang. Sebab tak banyak bicara itulah banyak dari orang-orang sering menggodanya, berbuat apa pun yang membuat dia membuka suara atau paling tidak tersenyum meski masker tak pernah lepas dari wajahnya.
Aku ikut barisan terkikik saat Mia, satu-satunya orang yang berjuang keras agar dia bersuara.
"Loh... loh.. cocok kan cocok."
Aku tahu akulah yang menjadi sasarannya kali ini. Biasanya aku hanya diam saja, tak mau melanjutkan hal semacam ini dan dia masih tidak bersuara.
Ketergantungan yang mengharuskan aku berkomunikasi dengan dia menjadikan Mia mendapat ide untuk mengumpankanku. Baiklah, sesuka hatinya saja, liat berapa lama Mia akan bertahan meladeni kediaman dia.
Hari ini lain, berbeda dari hari biasanya. Mia kembali berulah. Aku kembali hanya tersenyum tapi dia... bersuara.
"Loh kan cocok.. cocok..."
Dia hanya bersuara satu kata dan itu mendapatkan banyak respons, tentang keberhasilan Mia... akhirnya... dan gosip yang akan melebar secepat api yang menjalar dedaunan kering di musim kemarau.
"Cocok loh Mas sama Cili," semangat Mia menampilkan deretan gigi diantara dua garis bibir yang terpoles gincu merah muda.
"Aamiin..."
Satu kata itu saja, dan cukup membuatku menegang dan terpaku dalam beberapa detik berikutnya.
Asyik, mas siapa tuh?
BalasHapus