Belenggu Gemerlap Rindu

1 komentar
Cahaya dari benda kecil dalam genggamanku berpendar, lalu berlahan membentuk tiga dimensi di hadapan. Segalanya tampak nyata, bisa di sentuh hanya seperti awan, tak terasa apa-apa.

Berbagai gambar menjelma sebagai sesuatu yang menyilaukan, jikalau mampu tak ingin mata ini berkedip, takut ada sesuatu yang akan terlewatkan.

Derap langkah terdengar mendekati pintu kamar, buru-buru aku masukkan benda ajaib ini. Sesaat kemudian wajah ibu muncul membuka pintu.

"Salat taraweh, Nak."

Aku mengangguk.

Kembali langkah kaki terdengar semakin pelan menjauhi kamar, kemudian menghilang. Aku masih penasaran dengan benda ini, maka segera aku mengeluarkan lagi dari persembunyian di bawah bantal.

Satu tombol memulai segalanya, satu persatu gambar bermunculan, tersebar ke seluruh ruangan, menjadikannya gemerlap. Satu kata, takjub. Aku hendak mendekat ke sebuah hutan lebat saat sayup suara adzan terdengar.

Masih adzan, sebentar lagi.

Hutan lebat itu semakin aku mendekat semakin tampat detailnya. Kanopi dedaunan tersibak, pohon-pohon setinggi gedung empat lantai mendominasi, sulur-sulur yang menjuntai hampir menjerat siapa yang tidak berhati-hati. Tak ada cahaya matahari yang mampu menembus menjadikan hutan ini terasa lembab.

Suara adzan berhenti, tunggu, sedikit lagi, aku masih penasaran.

Sepanjang mata memandang tidak kutemui hewan apa pun di sini, seekor nyamukpun tidak begitupun dengan semut, ulat atau hewan kecil lainnya. Semakin jauh aku melangkah , menginjak rumput-rumput hijau yang menjelma seolah permadani yang terhampar, aku mendengar gemericik air, pasti ada air terjun tak jauh dari sini.

Tok... tok.. tok...

Terkejut aku melemparkan benda ajaib itu, seketika semuanya menghilang, menjadi kamarku yang remang.

"Nggak taraweh?"

Cukup kali ini, aku mengambil mukena dan sajadah yang tersampir di kursi, mengekor ibu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Pergi ke masjid terdekat sebelum tertinggal lebih banyak rekaat.

Shalat isya telah ditunaikan, khatib menuju mimbar untuk mulai berceramah. Pikiranku melayang ke rumah. Ingin rasanya untuk kabur dan kembali bertualang di hutan lebat penuh misteri tersebut.

Syaitan telah dibelenggu, itu satu dari sekian banyak keistimewaan di bulan ramadhan, Allah memudahkan hambanya untuk melakukan banyak kebaikan.

Suara khatib terdengar mengalun pelan, aku hampir tak mendengarnya, pikiranku dipenuhi oleh rasa penasaran yang tiada tertahan. Lenguhan kecil tak sengaja terlontar menyadari masih ada sebelas rekaat yang harus dilewati setelah ini.

Tapi...

Kalimat khatib mengambang, membuatku sedikit memasang fokus untuk mendengarnya.

Kenapa maksiat tidak hilang seratus persen?

Ahh, aku paham.. khatib memunculkan pertanyaan bukan untuk meminta jawaban, beliau sudah memilikinya, dan benar saja tak lama jawaban itu menutup kultum malam ini.

Allah hanya membelenggu syaitan dari kalangan jin, sungguh sebenarnya segala yang menghalangimu untuk beribadah kepada Allah, maka itulah juga termasuk syaitan.

Aku tersentak. Ini tamparan keras dan melukai hati. Seolah-olah khatib berbicara langsung di depan mukaku. Buyar sudah segala tentang hutan dan apa pun yang mampu di munculkan oleh benda ajaib itu.

Malam ini aku selamat, namun entah bagaimana dengan malam-malam selanjutnya, tak ada jaminan.


Bintang gemerlap
Ada hati yang rindu
Dalam belenggu


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

1 komentar

Posting Komentar