Adik Iparku Berulah Bagian 1

3 komentar
Minggu pagi, kami baru saja pulang seusai berolah raga ringan di sepanjang Jl. Slamet Riyadi, Solo. Kakak Alama sibuk membersihkan sisa-sisa bungkus roti yang kami beli tadi, meletakkan piring-piring kecil ke dapur, mengelap meja, mondar-mandir tiada henti. Dek Syifa membuka hati-hati mainan baru, sebuah puzzle dengan tiga puluh enam bagian yang terpisah bergambar kereta api.

Suamiku sibuk membaca koran tak jauh dari anak-anak, aku sendiri tengah mengupas pepaya yang juga dibeli tadi.

"Bunda... Kakak mau nonton kartun yah sudah jam sembilan ini."

Aku berhenti dari aktifitas, ada yang aneh dengan sikap anak sulungku, kenapa harus meminta ijin untuk menonton kartun? Ahh, aku tahu.

"Sudah selesai Kak?"

Ia menggeleng. Nah kan.

"Selesaikan dulu baru boleh nonton kartun."

Alama adalah anak sulungku, ia duduk di kelas lima sekolah dasar. Di usianya kini aku telah membuat perjanjian akan hak dan tanggung jawabnya sebagai anak dalam keluarga. Tanggung jawabnya ialah membantu merapikan meja makan dan mencuci piring-piring kecil.

"Sudah biar Bulik saja yang nyuci piringnya, Kakak Alama bisa nonton kartun."

"Yeay, makasih bulik."

Aku mendengus kesal, kehadiran adik dari suamiku baru dua bulan namun segala upayaku menerapkan peraturan di keluarga ini seolah hancur dalam sekejap. Tidak, bukan caraku untuk mendebatnya di depan anak-anak, terlebih aku tidak mau menegur langsung, biar kakaknya yang akan menasehatinya nanti.

**

Aku tidur menghadap tembok membelakangi suamiku yang telah terlelap beberapa saat lalu. Mataku enggan terpejam, diskusi sebelum tidur tadi menemui jalan buntu, suamiku enggan menyuruh adiknya pulang.

Segala perasaan marah yang tertahan berkumpul dengan kesal juga lelah yang mendera, perlahan tetes air hangat meluncur bebas membelah pipi, di luar kendaliku. Hanya menunggu waktu hingga hidungku tersumbat dan aku kesulitan bernafas. Tangan itu menyentuh lembut pundakku, percuma pura-pura tidur sebab badanku sudah bergoncang oleh luapan yang tak lagi terbendung.

Suamiku memaksaku duduk, aku menunduk dalam diam.

"Besok aku ngobrol yah sama Mania."

Aku tak menanggapi. Sudah berulang kali suamiku mengatakan itu tapi tetap tidak ada perubahan berarti, entah sudahkan ia benar-benar mengatakan pada adiknya atau hanya menghiburku semata.

"Aku sudah berusaha mengubah segala sikap turunan keluargamu, kini adikmu membuat pekerjaan itu harus kembali kuulangi."

Suamiku berusaha meraihku, aku mengelak.

"Mungkin harusnya kau yang mengatakannya sendiri."

"Tidak sudi."

"Tahan emosimu, Sayang."

Aku menatapnya dalam linangan air mata, "Katakan, kau sendiri tahu sikap memanjakan anak berlebihan akan berdampak tidak baik untuk kehidupan mereka selanjutnya. Kita sudah sepakat untuk hal ini. Menerapkan aturan untuk mempersiapkan anak-anak menyambut hal tak terduga di depan sana."

Suamiku terdiam. Selalu. Ia kalah jika berhadapan dengan adik semata wayangnya itu.

Aku keluar kamar, malam ini aku akan tidur di kamar tamu. Menangis sepuasnya. Mempertahankan apa yang aku yakini benar untuk keluargaku.



Bersambung...
---------------------------------------------------------------------------


AQ (Adversity Quotient) menurut Paul G. Stoltz adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.


Kepada semua teman sosial media, saya mohon maaf lahir dan batin jika selama ini ada kata, cerita atau perkataan yang secara sengaja ataupun tidak telah melukai hati. Semoga apa yang telah kita usahakan mendapat pahala dari Allah SWT. Selamat hari raya idul fitri 1438 H
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

3 komentar

Posting Komentar