Aku? Mati? Ketika subuh?
Cerna perlahan dan jika kurang
jelas kalian bisa mengulangnya satu, dua atau berapa kali sesuka
hati, lalu setelah itu diam saja. Ini adalah firasatku, berlebihan
jika memaksa kalian untuk mempercayainya.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah apa yang bisa kulakukan setelah mendapat firasat ini?
Menurutku firasat hanya semacam pemberitahuan lebih awal tanpa mampu
mengubah takdir yang semestinya berjalan.
Mati... mati... mati...
Kata itu terus memenuhi otakku,
menggema di setiap dinding khayalan yang kelamaan sungguh mengerikan
dan nyaris membuatku gila. Kenapa malaikat Izroil tidak langsung
mencabut nyawaku saja? Menanamkan perasaan semacam ini membuatku
lemas dan hilang akal hingga serasa nyawa sudah tidak berada dalam
raga atau ada sesuatu yang tersembunyi akan firasat ini?
Maka aku pergi menemui seseorang
yang mengabdikan diri di sebuah surau kecil di pinggir kali yang
kotor airnya, beliau meski tak utuh lagi barisan giginya menyambutku
dengan senyum yang terlihat ganjil.
Lelaki tua itu entah datang dari
mana, dulu saat aku terlahir beliau sudah mendiami surau tersebut,
mengumandangkan adzan tepat waktu, mengajari anak-anak mengaji dan
memukul bedug sebagai tanda berbuka puasa. Ada yang bilang beliau
memilki sesuatu yang tidk banyak orang tahu, sesuatu yang tak kasat
mata maka dari itu jarang dipercaya.
“Assalamu'alaikum, Kakek,”
sapaku sembari mencium takzim punggung tangan beliau.
“Wa'alaikumsalam cucuku.
Duduklah, tenangkan pikiranmu. Apa kau membawa sesuatu untukku?”
Aku menepuk dahi, lupa membawa buah
tangan sebab otakku sudah penuh dengan firasat yang mengganggu ini.
“Aku bercanda,” terkekeh kakek
menggodaku.
Pagi itu mentari malu-malu
menyinari bumi, kumpulan awan tampak menutupi sinar garangnya, tidak
mendung namun cukup suram mengingat ini tengah hari. Aku
mengutarakan maksud kedatanganku, kakek mengangguk, membangkitkan
semangatku akan makna tersirat yang mungkin alpa kubaca. Namun
ternyata aku semakin dibuat bingung saat pulang, sebab kakek tak
meberitahukan aku apa-apa selain memintaku untuk tetap di jalan yang
benar. Memangnya selama ini jalanku sesat?
Firasat ini seolah menjadi algojo
yang hendak membunuhku perlahan, membuatku terserang insomnia akut.
Dini hari dengan sangat memaksa aku memejamkan mata dan sebelum subuh
sudah kembali terjaga. Alarm dalam tubuhku seolah berbunyi untuk
menunggu hari kematian.
Beberapa subuh berlalu dan tidak
terjadi apa-apa, aku mulai meragukan kebenaran dari firasat ini.
Namun gangguan tidur terus saja kualami, membuat kantung mataku kian
tebal setiap harinya.
Subuh ini hujan turun dengan
derasnya, membuat setiap makhluk kembali meringkuk di bawah selimut
tebal di atas ranjang empuk, menyamankan diri. Kata orang subuh
adalah waktu yang tepat untuk melenyapkan rasa lelah, itulah menyapa
sulit mata terbuka meski panggilan Ilahi telah diperdengarkan di
setiap sudut kota.
Tubuhku gemetar, menggigil, ada
sesuatu yang memaksaku untuk keluar rumah, namun deras hujan
menahanku hingga begitu cepat semua terjadi, kilat menyambar,
menumbangkan pohon-pohon tepat ke atap rumah-rumah, guntur
menggelegar memekakkan telinga, lalu sunyi. Gerimis hujan kemudian mengabarkan
bahwa firasat itu nyata namun bukan untukku saja
melainkan juga kepada
mereka yang tuli setelah
dipanggil berulang kali.
Posting Komentar
Posting Komentar