Kamu Kenapa? (2)

5 komentar

Baca cerita awalnya di sini


Tetesan air langit satu per satu menghujam bumi, memberikan kesegaran di subuh yang sunyi. Hujan, ahh, aku tak akan pernah mampu untuk melupakannya.

Sore itu menjelang magrib, di tengah hujan deras, meski menggunakan jas hujan, kau kuyup.

Kok basah semua, Mas?”

Iya, hehe.”

Hanya itu, setelah mengangsurkan rantang berisi masakan ibumu kau bergegas pulang.

Aku takut sekali saat itu,” ungkapmu saat kita mengenang pertemuan pertama setelah akad kau ucapkan.

Takut kenapa?”

Takut jika hujan tak kunjung reda hingga menahanku lama untuk bertamu yang bisa jadi akan memunculkan hal yang tidak seharusnya.”

Aku menunduk, malu. Terima kasih ya, sudah menjagaku sejak dulu.

Lalu, saat itu sepertinya kau juga terburu-buru mengusirku,” lanjutmu.

Gelengan lembut juga senyuman hangat aku tunjukkan, “Bukan seperti itu.”

Oh, apa kau takut jika aku jatuh sakit?” ucapmu menggoda.

Bukan,” buru-buru aku menyela.

Lalu?”

Aku tak cukup kuat melihat rambutmu yang berantakan terkena air hujan. Hatiku jadi kacau,” jawabku dengan wajah memerah menahan malu yang teramat sangat.

Saat itulah kau mengerti bahwa hal yang kau sengaja agar tak berlama-lama bertamu adalah awal muncul rasa berdesir dalam hatiku.

Tiga puluh menit berlalu, aku tutup kitab suci yang telah memberikan ketenangan jiwa. Menyimpannya di rak buku paling atas lalu merapikan mukena.

Ahh, tadi lelakiku tidak membawa payung, mungkin berteduh di masjid.

Aku menuju dapur hendak menjarang air saat langkah kaki setengah berlari terdengar mendekati pintu, itu, kau datang. Siap dengan handuk di tangan buru-buru aku menyapamu di pintu. Hatiku masih sama kacau seperti dulu melihat rambutmu berantakan oleh air hujan.

“De, pinjem gawaimu.”

“Mau ganti baju dulu?”

“Enggak basah kok, cuma gerimis tadi,” jawabmu sambil mengeringkan rambut.

Segera aku menuju kamar mengambil apa yang lelakiku minta kemudian duduk manis di sampingnya.

Jempol tangannya lihai membentuk pola aku mengunci gawai, lalu menuju satu per satu sosial media, mengamati dengan jeli setiap percapakan. Hatiku mengatakan inilah mungkin penyebabnya.

“Mas, cari apa?”

“Kamu punya teman namanya Asrul?”

Aku menggeleng cepat, seingatku tidak ada.

“Ingat lagi.”

Aku mencoba membuka memori tentang teman-teman sekolah, teman komunitas, teman kenalan tapi tak ada satupun yang bernama Asrul.

“Ada apa, Mas?”

“Coba ingat dulu.”

Ia sibuk menggeledah semua isi gawaiku, aku tidak khawatir, memang tak ada yang perlu disembunyikan. Tapi, ada apa dengan nama tersebut? Mencoba lebih keras lagi mengingat nama tersebut.

“Aku nyerah, aku nggak punya teman dengan nama Asrul,” ujarku kemudian.

Ia tak menggubrisku.

“Mas... ada apa?”

Setelah tangannya aku sentuh, ia berhenti. Memandang wajahku, meneliti kejujuran ucapanku dari sorot mata. Aku balik menatapnya degan yakin, percayalah, aku berkata jujur.

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

5 komentar

Posting Komentar