Hobi ini Keren

3 komentar
Dulu aku tak pernah menyangka jika akhirnya begitu menyukai suatu hal. Hal yang kini menjadi hal biasa bagi kebanyakan orang.

Mendaki Gunung.

Aku mengenal kegiatan ini pertama kali saat kakak sulungku melakukannya pada kelas X. Tak banyak bercerita, memang dia tak pandai berbicara banyak, hhaa, lelaki pendiam yang aku menaruh hormat padanya.

Namun ketika aku keluar rumah dimana kanan dan kiriku terpampang gunung-gunung yang kokoh berdiri, rasa penasaran itu muncul. Bagaimana bisa sesuatu yang sangat tinggi tersebut dinikmati?

Itu lah kegiatan yang menjadikanku ada di sekolah yang sama di mana kakak sulungku telah lulus setahun silam sebelum aku masuk. Sebenarnya pasti menyenangkan bisa berada di satu sekolah yang sama dengannya, tapi kemudian aku urung sebab ternyata tidak. Aku yang baru masuk dan menyebutkan namanya kepada beberapa senior langsung diberondong pertanyaan macam-macam. Huftt, kakakku terkenal juga.

Saat di SMA semua berjalan baik, aku yang akhirnya bergabung dengan ekskul pecinta alam beserta teman-teman rutin melakukan olah fisik setiap minggunya. membuat kami terlatih dan sangat membantu meringankan tubuh saat pendakian.

Setelah lulus dari sekolah, aku harus berlatih sendiri untuk melemaskan otot-otot jika nanti tak mau merepotkan teman. Berlari rutin pagi hari sebulan atau dua minggu sebelum pendakian.

Lalu semakin aku mengenal dunia semakin banyak kegiatan baru yang lebih menarik minatku. Satu diantarnya menulis. Tapi aku belum bisa sepenuhnya berlepas diri dari hobi lamaku. Bingung membagi waktu itu jelas sebab aku termasuk yang harus fokus dalam mengerjakan sesuatu, tidak pandai mengerjakan banyak hal dalam satu waktu.

Temanku akhirnya menaklukkan hatiku, penolakan yang berulang tak membuatnya gentar hingga aku yang mengalah.

Sabtu malam kami mendaki seperti biasanya, menikmati perjalanan yang harus bertarung dengan rasa kantuk juga lelah selepas bekerja. Mendirikan tenda di tempat yang layak dan jatuh tertidur hingga matahari menyinari dunia.

Kelompok di bagi dua, ini terpaksa sebab kelompok kedua tidak mau bangun, hhaa. Kami yang sudah sadar melanjutkan pendakian ke puncak dengan bekal secukupnya.

Saat kami kembali kelompok dua telah bangun dan berniat menengok puncak, baiklah, kami menunggu tenda bergantian dan menyiapkan bekal untuk makan.

Temanku, oh dia baik sekali, jika sudah memegang peralatan dapur maka tak mau sedikitpun di usik, baguslah. Aku menuju sebuah pohon di seberang tenda, duduk di dahannya yang kuat dan mengamati ia yang sibuk meracik ini itu. Sesekali menyemangati pendaki yang baru akan menuju puncak dan bertegur sapa pada mereka yang turun.

Saat itulah sepi merambati, andai aku bawa buku pasti asyik. Akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dan menulis.

Luar biasa, pengalaman pertama yang seterusnya sering terulang.

Menulis di atas pohon, bersandar pada kayu, dengan pemandangan atas awan yang tak pernah menjemukan. Keheningan, kesendirian, menjadikan fokusku sempurna. Apalagi tak lama temanku berteriak bahwa makan ala kadarnya sudah siap.

Tuhan, terimakasih telah mengijinkanku untuk berkunjung ke negeri di atas awanMu. Ini Keren.


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

3 komentar

Posting Komentar