Biar Kuminum Obatmu 4

1 komentar
Sebelumnya...

Dokter Arman berniat membawa kakaknya pulang ke rumahnya namun Rahman berhasil meyakinkan untuk kembali percaya bahwa ia bisa merawat istrinya. Selengkapnya di sini.


***

 Tiga jam berlalu, Dokter Arman tertidur dengan posisi duduk dan kepala yang menyentuh pinggir ranjang dimana kakaknya terpejam. Rahman yang sedari tadi tak jenak duduk di sofa mulai bangkit untuk menengok istrinya.

"Aku akan bawa istriku ke rumah sakit."

Dokter Arman terbangun oleh suara Rahman, "Tidak perlu," jawabnya masih dengan wajah mengantuk.

"Istriku belum juga sadar dan kau tidak melakukan apa-apa, lihatlah," terdengar intonasi kecemasan dalam suara lemah Rahman.

"Aku dokternya, aku paham benar kondisi kakakku," balas Dokter Arman.

"Aku tidak bisa menunggu."

"Jangan sok tahu."

"Aku mengkhawatirkan istriku."

"Aku lebih mengkhwatirkan kakakku, berhenti seperti anak kecil."

"Kau yang bocah, mau menunggu sampai kapan?"

"Ini semua karena kau."

"Ini semua karena obatmu."

"Berhenti.." terdengar suara lemah diantara keduanya.

"Aku bawa istriku sekarang."

"Aku bilang tidak!"

Keduanya menghentikan pertengkaran sebab Hany, istri Rahman dan juga kakak Dokter Arman membuka perlahan matanya. Rahman segera mendekati ranjang, Dokter Arman mengeluarkan peralatannya untuk memeriksa kondisi kakaknya.

"Bisa tinggalkan kami?"

"Tidak. Dia istriku."

"Keras kepala. Aku ingin memeriksanya."

"Aku bisa tetap di sini."

"Kau akan menganggu."

"Aku tidak akan mengganggu."

"Kalau begitu, ambilkan minum untuk istrimu, kakakku pasti dehidrasi sebab terlalu lama tidak sadar."

Rahman akhirnya keluar kamar, menuju dapur, jalannya tertatih, kepalanya masih pening namun ada kelegaan luar biasa mengetahui istrinya telah sadar meski terlihat begitu lemah.

Dokter Arman menggeleng menatap wajah kakakknya, ia menggenggam jemari kakakknya.

"Kumohon, jangan lakukan ini lagi."

Senyum tipis memperindah wajah elok perempuan itu. Ia mengangguk.

"Meski hanya obat tidur, akan sangat berbahaya jika digunakan tanpa dosis."

"Aku tahu, harusnya aku menelan satu saja ya, bukan langsung dua."

"Aku terkejut kakak hanya tertidur tiga jam, menurut perhitungan seharusnya bisa semalam suntuk. Apa tubuh kakak baik-baik saja?"

"Aku merasa segar seperti bangun tidur, hanya tenggorokanku yang kering."

"Tunggulah, lelaki itu sedang mengambilkan air untukmu."

"Dia suamiku, kau seharusnya menghormatinya."

"Tidak lagi setelah apa yang ia perbuat terhadap kakak."

"Ini salahku."

"Tidak jika ia menurut untuk meminum obatnya."

"Kau tahu betapa ia tak percaya akan medis."

"Baiklah, setelah ini pastikan ia menelan obatnya sesuai dosis. Lelaki itu maksudku suamimu hanya butuh tidur cukup untuk meredakan sakit kepalanya. Terlalu banyak begadang mempengaruhi kinerja tubuhnya, jangan dibiarkan."

Hany tertawa kecil, "Jadi benarkan kau hanya memberikan pil tidur untuk suamiku."

"Iya, apalagi, dia hanya butuh tidur, bukan yang lain."

"Apa yang terjadi jika aku menelan pil yang bukan obat tidur?"

Mata Dokter Arman mendelik, "Kakak, kumohon, jika kau lakukan itu akan kubunuh suamimu."

Hany kembali tertawa, "Aku tidak bodoh pak dokter, aku tahu resiko sebelum melakukan ini dan semoga suamiku mau mendengarku setelah ini."

"Baiklah, kuberikan kau vitamin. Mengurusi lelaki itu eh maksudku suamimu memang butuh tenaga yang tak sedikit. Lain kali telpon aku sebelum melakukan hal semacam ini, paham?"

"Sejak kapan kau galak terhadap kakakmu ini?"

"Kurasa kakak tertular virus tak waras dari lelaki itu."

Hany tertawa, adiknya terlalu berlebihan. Bersamaan dengan itu masuk Rahman dengan segelas air putih di tangannya.

"Maaf, aku tidak mengambilkan untukmu juga," ujar Rahman saat Dokter Arman mengambilnya.

"Aku yang akan membantu kakakku minum," jawan Dokter  Arman ketus.

"Hei.. berikan padaku, aku bisa meminumnya tanpa bantuan kalian," ucap Hany memotong pertengkaran yang kembali tersulut.

"Baiklah kakak, aku pamit. Jaga dirimu."

Dokter Arman melewati Rahman, tatapan matanya terlihat berkobar, pelan ia berbisik, "Jika terjadi lagi aku akan buat perhitungan denganmu."

Rahman tak menjawab, ia menyadari kesalahan yang baru diperbuatnya. Ia menoleh, mengamati istrinya yang perlahan meneguk air yang tadi diambilnya. Bahkan jika nanti kesalahan itu terulang ia sendiri yang akan menghukum dirinya.



End.
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar