Untuk Siapa?

2 komentar
Mereka adalah pengantin baru di wilayah ini, asal mereka dari pedalaman Jawa Timur namun suami memenangkan proyek rusunawa di ibu kota hingga mereka pindah. 

Setiap malam suami harus menahan lapar sebab istrinya tak pandai memasak. Nasi memang selalu tersedia sebab apa susahnya menekan tombol “Cooker” dan tiga puluh menit kemudian beras telah siap untuk disantap, beberapa kali memang kurang pulen, bisa jadi kurang air tapi seiring waktu si istri dapat dengan baik menakar kebutuhan air untuk menanak.

Tahu, tempe dan telur menjadi menu wajib sarapan dan makan malam, itupun hanya digoreng yang diberi bawang putih juga garam secukupnya, sesekali irisan daun bawang menjadi hal baru dalam hidangan telur dadar.

Rupanya si suami sudah cukup sabar, wanita yang menyandang status istrinya kini bukanlah orang yang diharapkan untuk hidup bersama. Wanita itu pilihan ibunya, anak teman bisnis sawah ayahnya. Tak ada bantahan, rumah tangganya dibangun tanpa dasar cinta.

Malam ini si suami pulang dengan bungkusan hitam di tangannya. Ia makan dengan lahap nasi padang yang dibeli dekat gang tak jauh dari rumahnya. Lahap makannya sesekali melirik istrinya yang tetap tersenyum meski sayur sop dengan suwiran ayam terhidang di atas meja tidak disentuhnya.

Pindah ke ibu kota adalah impian besarku sebagai anak kampung. Memenangkan proyek pembangunan rusunawa menjadi kebanggaan yang luar biasa, tapi kebahagiaanku tidak sempurna sebab sebelum pindah aku dipaksa untuk menikahi anak gadis dari teman bisnis sawah ayah. Tak boleh ada penolakan, aku pun menerima meski tak ada rasa cinta.

Cinta dapat tumbuh seiring berjalannya waktu, begitu ibuku berujar namun tak ada hal yang bisa mewujudkan itu semua. Wanita itu bahkan tak bisa memasak, saat letih mendera setelah seharian dibawah sengat mentari aku masih harus menahan lapar karena tak ada yang bisa dimakan selain nasi putih olahan Rice Cooker.

Aku bosan melahap tahu, tempe atau telor setiap harinya. Ingin rasanya makan sayur, oh istriku tidak bisakah engkau memasakkan itu untukku?

Muak, malam ini aku menolak untuk kelaparan. Pulang kerja aku mampir ke warung padang dekat rumah membeli sebungkus nasi lengkap dengan sayuran hijau juga rendang dengan bumbu memikat. Tak perduli dengan wanita itu. Kalau engkau lapar maka masaklah, gerutuku.

Aku baru saja lulus sekolah menengah atas saat tiba-tiba ayah memaksaku untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Penolakan awal berujung pada tamparan di pipi maka ibu dengan berurai air mata memaksaku untuk menuruti segala perintah ayah dan kini aku bersama suamiku tinggal di ibu kota sebab ia memenangkan proyek pembangunan rusunawa.

Dapur adalah hal asing sebab tak pernah sekalipun ibu mengijinkanku untuk menyentuhnya, ada bibi, begitu ujarnya berulang kali. Wajar jika kini aku keteteran setiap kali memasak.

Jaringan internet menampilkan beragam menu lengkap dengan cara pengolahannya, aku mencoba.

Suamiku memaklumi untuk hasil masakan yang terhidang setiap harinya. Tahu, tempe dan telur tetap ia makan meski hanya beberapa sendok yang masuk ke dalam perutnya, sisanya? Aku yang akan menghabiskan.

Tak selamanya menurut pada cara penyajian menghasilkan rasa yang sesuai, beras dengan beragam jenisnya nyatanya juga berdampak pada banyaknya takaran air yang digunakan. Pernah suatu ketika beras yang kubeli tidak seperti biasanya namun takaran air sama dengan saran penyajian pada buku panduan, alhasil nasi yang tercipta sedikit keras. Maka aku beralih menggunakan cara tradisional yang tidak mengukur air menggunakan gelas takaran namun dengan garis jari telunjuk dan itu berhasil.

Hari ini aku memasak sayur sop dengan suwiran ayam. Jelas ini bukan pertama kalinya namun menjadi yang pertama terhidang di atas meja makan. Sebelum-sebelumnya aku tetap memasak sayur berkuah, berusaha menghadirkan makanan sehat seimbang untuk mengimbangi kerja keras suamiku yang seharian bergelut dengan panas juga debu.

Namun sayang, hasilnya jauh dari kata menyenangkan. Makaroni sangat lembek, terasa hambar, wortel masih keras adalah beberapa contoh kegagalanku. Sayur itu aku simpan dalam mangkok untuk aku makan sendiri meski dengan mengernyitkan dahi, tak mungkin tega aku membuang makanan mengingat bagaimana suamiku bekerja keras untuk itu.

Bisa jadi rasanya kurang mantap, tidak seperti yang ibu atau bibi buat di rumah tapi ini layak untuk di makan. Aku tak sabar menanti suamiku pulang dan makan malam bersama. Ingin rasanya mendengar komentarnya untuk masakan awalku ini.

Jangan perdulikan hatiku, meski sembilu mengirisnya aku tidak akan menitikkan air mata. Senyum adalah hal wajib yang harus aku lakukan setiap bertemu dengan suamiku.

Laparku menguap, mati rasa sudah, tapi aku masih bisa tersenyum melihat suamiku lahap menikmati nasi padang yang ia beli pulang kerja.

Lalu, aku masak untuk siapa?

Ada rasa bersalah di hati si suami saat melihat makanan lengkap terhidang di atas meja. Kali ini tidak ada tahu, tempe ataupun telur dadar. Istrinya telah masak sop ayam juga perkedel tak lupa sambal yang diulek kasar melengkapi.

“Kau sudah makan?” tanya suami

Si istri mengangguk masih dalam senyum yang dipaksakan, semua tahu ia berbohong kecuali suaminya.

“Besok masaklah seperti ini lagi, aku akan makan bersamamu.”

Si suami memegang lembut tangan istrinya dengan penuh penyesalan dalam dada. Si istri reflek menarik tangannya, bukan ia marah tapi suami telah memegang tepat dimana ada luka bakar yang sore tadi tercipta, saat ia menggoreng perkedel untuk makan malam suaminya.

 :(
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar