Mendadak Punya Anak

5 komentar
hoaamm...

Tidur di sofa itu tidak enak, posisi badan tidak sempurna, yang ada saat bangun malah terasa pegal. Aku merenggangkan persendian, mencari cara mengembalikan kebugaran. Ahh, sebuah buku tergeletak tak berdaya dengan posisi menelungkup di atas lantai. Inilah alasanku tertidur, entah buku apa pun adalah penghantar tidur terbaik bagiku.

“Bundaaa....”

Belum juga sempurna aku membuka mata, dari pintu rumah masuklah seorang anak kecil laki-laki berusia sekitar lima tahun, yang membuatku terkejut adalah kata yang ia ucapkan, bunda? Apa aku bermimpi?

Telapak tanganku sibuk mengucek kedua mata, berharap mendapat penjelasan dari apa yang ditangkap indera penglihat. Anak laki-laki yang kini sudah di hadapanku sangat nyata dengan senyum polosnya. Aaaww, mulutku reflek menjerit saat aku mencubit sendiri pipiku, ini bukan mimpi.

“Bundaaaa....”

Anak laki-laki itu kembali mengucapkan kata yang sama, mungkin karena tak ada respon dariku.

“Bunda?”

Ini lebih ke arah pertanyaan, tapi sepertinya anak kecil itu tak paham, ia hanya mengangguk-angguk.

“Bunda baru bangun tidur sayang, sini makan pisang gorengnya sama ayah aja”

Haaa? Belum juga aku mengerti tentang anak laki-laki ini, tiba-tiba muncul seorang pemuda dengan piring berisi pisang goreng. Rambutnya berantakan, hanya menggunakan kaos rumah dengan celana tanggung, penampilannya seperti di dalam rumah sendiri. Tunggu, apa ini juga rumahnya?

“Bunda, kok bengong sih?”

Aku mengerjapkan mata, menggeser sedikit posisi tubuhku saat pemuda itu duduk disampingku juga menjejalkan anak laki-laki itu diantara kami.

“Rio, mau ambilin garpu untuk Bunda ga?”

Anak laki-laki itu mengangguk dan segera meninggalkan kami berdua. Aku masih bengong.

“Bunda mau ayah suapin pisang goreng?”

“Ayah?”

Pemuda di depanku tersenyum dan mengangguk kecil.

“Sejak kapan?”

“Ohh ayolah Bunda, anak kita sudah lima tahun dan kau bertanya sejak kapan?”

Tidak... aku tidak ingat apa pun. Kepalaku menggeleng memberikan penolakan. Aku memperhatikan pemuda di depanku yang perlahan mulai kukenali, semakin lama mengingat semakin ada rasa takut yang menjalari seluruh bagian tubuhku. Benarkah aku telah bersuami?

Pemuda di depanku tengah asyik melahap pisang goreng, sesekali melirikku yang bertampang bloon. Mungkin setelah gigitan yang kedua dan aku tak juga membuka mulut ia mulai gemas.

“Masih ngga inget juga?”

Yang terlintas dalam pikiranku hanyalah pemuda di depanku ini bernama Malvin, usianya sebaya denganku, kami adalah teman sejak kecil dan rumah kami bersebelahan. Terbayang sedikit kenangan saat kami bersama teman yang lain bermain petak umpet, kelereng, mencari ikan, mandi lumpur, dan tiba-tiba saat aku bangun dia sudah menjadi suamiku? Dengan satu anak laki-laki yang berumur lima tahun? Aarrggghhh.... Sulit sekali ini dipahami.

“Aku peluk Bunda deh, biar inget”

Kedua tanganku telah mengepal, bersiap meninju jika ia berani macam-macam.

Malvin mengangkat bahu, terkikik dan melanjutkan kegiatannya menikmati pisang goreng. Satu buah pisang goreng telah habis, ia menepuk pelan dahinya menyadari aku belum juga tersadar.

“Baiklah aku bantu, apa yang kau ingat sebelum ini?”

Terbata-bata aku menerjemahkan lintasan ingatan yang berkeliaran di kepalaku, “Ba'da ashar aku duduk di sofa ini, membaca novel tentang penyelesaian kasus Sherlock Holmes dan terbangun hingga tiba-tiba semua ini terjadi”

“Hahahahaha... Malvin tertawa kencang, baru kau orang yang tertidur membaca kisah menegangkan semacam itu”

“Kau?”

Aku mulai menyadari ada yang tidak beres, Malvin tidak memanggilku “Bunda” lagi. Dan selesailah semua ini saat Rio mendekati kami dengan sebuah sendok ditangannya, “Mas Malvin, garpunya nggak ketemu,” lalu menyerahkan sendok itu.

“Nggak papa, yuk sini makan pisang goreng lagi”

“Enggak ahh, di rumah Ibu goreng banyak, itu kan buat bunda”

Sebelum Malvin menyadari rahasianya terbongkar aku sudah memasang wajah tak bersahabat, bersiap memulai peperangan.

Ya, Rio adalah muridku di Taman Kanak-kanak dimana aku mengajar, Bunda adalah sebutan untuk setiap guru. Dan pemuda yang kini menampilkan cengiran kudanya benar tetangga juga sahabat karibku.

“Tenang-tenang Nad, aku hanya bercanda. Sebenarnya tadi Rio ingin mengantarkan pisang goreng ini untukmu, tapi sudah berulang kali memanggil tak ada sahutan. Aku yang kebetulan sedang mencuci motor membantunya, dan disinilah kami sekarang.”

Tatapan mengancam kutujukan pada pemuda itu, tapi terpaksa menahannya sebab ada anak kecil di depan kami, “Rio sayang, besok jika tuan rumah belum mengijinkan untuk masuk, Rio tidak boleh masuk ke rumah orang, ya?”

Rio mengangguk.

“Bisa jadi, pemilik rumah sedang istirahat dan tidak mau diganggu, ya sayang?”

Kedua kalinya Rio mengangguk, setelah itu dia berpamitan pulang.

“Kau... sejak kapan rumah ini boleh kau masuki sesuka hati?,” suaraku mulai meninggi menyadari cuma ada kami berdua.

“Hei... hei.... untung aku yang masuk, bagaimana kalau maling, hah? Salah siapa tidur tapi tidak mengunci pintu?”

“Aku tidak tidur, tapi tertidur,” sungutku tak mau disalahkan.

“Sama saja nona”

Malvin berdiri, melangkah pelan keluar rumah, “Oh ya, jangan biasakan untuk tidur sore-sore, apa kau tidak tahu jika itu tidak baik untuk kesehatan dan bisa menyebabkan pikun dini, BUNDA?”

Pada kata Bunda aku mencium ejekan yang sengaja ia tekankan, baiklah setimpal dengan sebuah bantal yang mendarat sempurna di atas kepalanya.


 
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

5 komentar

Posting Komentar