Tolong, Jauhi Calon Suami Saya

7 komentar

"Mba saya mohon dengan sungguh, tolong jauhi calon suami saya mba. Maaf seperti memaksa sebab saya tidak bisa meminta ini darinya."

-----------
Aku melirik lelaki yang duduk di seberang, tangannya sibuk melengkapi kotak tts surat kabar tadi pagi. Sesekali menulis, mengerutkan dahi, menarik napas panjang, bahkan melempar pandangan pada jalan berbatu di depan rumah.

"Pulang gih"

"Dih ngusir."

"Aku kan ada kerjaan."

"Ya sana masuk. Ngapain di teras?"

Kami kembali terdiam. Angin siang membawa tetes air yang terasa sejuk menerpa wajahku, tapi tidak mampu menenangkan gemuruh hati di dalam.

"Ngomong aja lagi. Jangan suka dipendem sendiri. Noh, jerawat bukannya berkurang malah nambah."

Ihh sok tahu, emangnya dia ngitungin. Kembali aku mencuri pandang sedang dia masih menekuri kotak-kotak yang hampir terisi separuhnya.

Lelaki yang sejak belasan tahun silam mengisi pagi dengan denting batu kecil mengenai sepeda anginku, enam tahun. Pernah aku memarahinya, bisa-bisa sepedaku berlubang karena ulahnya. Eh dia berkelit, "Yee, itu aku bidik tepat di ruji, berbeda tempat tiap harinya. Ga perlu khawatir."

Seingatku pernah juga kuadukan pada ayah, bukannya membelaku ayah malah tertawa karena ulahnya. Ibu juga hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jadi anak yang sopan dong. Kalau mau ngajak berangkat ke sekolah bareng ya ketuk pintu bukan lempar batu. Ngerti ga?"

"Ahh lama, nanti klo aku mampir bisa disuruh sarapan sekalian lagi."

Begitulah. Ayah dan ibu mungkin menginginkan anak laki-laki dengan segala tingkah polahnya maka selama masih batas wajar mereka tidak pernah protes. Puffftt..

"Pulang sana," seruku kesekian kali.

"Pusing ahh di rumah."

"Udah mau ujan tahu."

"Lah, rumah ga ada seratus meter ini. Lagian masak kamu tega ga pinjemin payung?"

Ya Tuhan... ini anak siapa sih. Susah bener disuruh pulang. Ahh ya, selalu begitu. Teras rumahku adalah tempat pelarian setiap dia pusing mengerjakan tugas. Terlebih kali ini pekerjaan sebagai arsitek menguras otaknya.

Aku diam saja.

"Masuk sana, masuk angin kamu nanti."

Lah, giliran dia yang bawel. Yah, seringnya begitu. Sejak kami bertetangga dan bersekolah di tempat yang sama semasa putih biru seolah dia menjelma sebagai pengawal yang memastikan aku harus baik-baik saja.

"Hhaa... pengawal? Aku tuan putri dong," timpalku ketika sepeda angin kami beriringan di sepanjang jalan pulang di bulan ketiga setelah perkenalan.

"Belum tentu. Kamu tetep temennya pengawal. Hhaa. Pengawal itu tugasnya mengabdi, mana boleh sakit. Dasar kepedean."

Kami tertawa bersama.

"Mau sampai kapan begini?", pancingku yang berhasil membuat tatapannya beralih dari surat kabar ke arahku, meski hanya beberapa detik.

"To the point aja sih. Susah amat."

"Ram, semisal Fatma deket sama cowok. Temenan doang. Kamu gimana?"

"Ya ga boleh dong."

"Ga boleh gimana? Kan cuma temenan?"

"Hhaa. Aku kok tahu arah pembicaraanmu."

Aku terdiam. Rama, nama lelaki itu. Memang cepat menangkap apa yang ingin aku sampaikan, menyederhanakan segala kerumitan ucapanku.

"Tahu apa?"

"Cewek itu ga bisa nahan cemburu."

"Lalu?"

"Hla kamu pikir cowok bisa?"

"Kelamaan ahh."

"Cowok juga sama, pada dasarnya setiap orang ingin agar dirinya spesial di mata pasangannya. Bedanya cowok bisa menahan rasa cemburunya, kebanyakan ga seekspresif cewek. Begitu."

"Tuh tahu."

"Hhee.. kapan Fatma ke sini?"

"Kemarin pagi."

"Kok ga langsung bilang ke aku?"

"Emang dia ga cerita ke kamu?

"Engga."

"Ya udah. Kamu lah jadi cowok perhatian. Peka kek. Udah mau nikah juga. Jaga perasaan."

"Wuiihh, panjang bener ceramahnya."

"Kan aku cewek juga dih."

"Jadi, ini hari terakhir aku diijinin main ke sini sesukan hatiku?"

"Iya."

"Karena Fatma?"

"Bukan. Karena kelak aku juga ga mau lelakiku menjalin hubungan dengan wanita di luar sana."

"Oke. Aku pulang. Bapak sama ibu mana?"

"Sana pulang, aku pamitin nanti."

Entah apa yang akan terjadi selanjutnya tentang hubunganku dengan teman masa kecil yang telah menyetujui permintaan bapak untuk menjagaku, anak kecil yang baru pindah dari kota ke sebuah desa ini.

Kata orang tak ada yang benar-benar murni dari persahabatan antara lelaki dan wanita, aku tak sepenuhnya setuju. Toh kita bisa. Tapi aku sangat setuju bila ada yang berkata bahwa wanita tak mampu menyembunyikan rasa cemburunya.

😊😊


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

7 komentar

Posting Komentar