First Solo Hiking - 3

Pendaki
Angin sore ini lumayan kencang, menerbangkan daun-daun kering yang berserak, debu-debu menganggu penglihatan… tapi ternyata, bukan alam saja yang sedang kacau, hatimu pun juga.

“Bapak ada di rumah?”

“Mau apa?”

“Mau tanya tentang kebenaran informasimu barusan.”

Matanya menghujam tajam, napasnya menderu, angin mengorak-abrik rambut ikalnya ke sembarang arah.

Kamu, kemana saja selama ini?

Siang itu setelah menghadiri acara pernikahan teman sekelas, kamu mengantarku pulang. Kenapa harus diantar pulang? Aku mulai tersenyum sepanjang perjalanan, menatapmu yang melaju dengan kecepatan sedang. Dua puluh menit khayalanku membumbung ke angkasa, semakin dekat jarak menuju rumah semakin tak terkendali debaran di dada. Inikah saat itu? Inikah?

Berulang kali aku menguatkan hati, menyiapkan jawaban terlembut agar tidak terlonjak ketika pertanyaan itu terlontar darimu. Sulit menerima kenyataan bahwa saatnya tiba juga. Yah, aku yakin seratus persen, apa lagi yang perlu diragukan? Dengan baik kamu tahu bahwa pukul sepuluh malampun aku berani pulang melewati hamparan sawah yang minim penerangan, sekarang, saat matahari bersinar garang? Ahh, tubuhku semakin panas dingin.

Aku terburu-buru memarkirkan sepeda motor, menghampirimu yang tersenyum di balik balutan hitam jaket polos tanpa ada satu tulisanpun di sana.

“Mampir dulu?”

“Aku langsung aja yah.”

Cleeenggg…. Khayalanku ternyata mimpi di siang bolong. Bangunan harapan setinggi langit itu merubuhiku seketika. Bergetar, lunglai, tak berdaya.

“Bapak nggak ada di rumah. Sana pulang.”

“Aku ragu.”

“Ya sudah kalau tidak percaya.”

“Kenapa tidak memakai cincin kalau sudah bertunangan? Siapa nama calon suamimu? Kau berbohong.”

Aku memejamkan mata, baru kali ini kamu berbicara dengan nada tinggi di hadapanku.

Kesempatanmu ada tiga tahun yang lalu, sekarang aku tak berani lagi untuk berharap sekalipun kali ini mungkin kau serius. Aku… aku… aku tak mau memberikan hati padamu. Tak mau lagi.

“Maaf yah, aku kasar.”

Aku mengangguk.

“Aku pulang yah. Kamu istirahat, nanti aku telpon sampai rumah.”

Setelah tubuhnya hilang dibalik tikungan aku segera menghapus nomor kontaknya, oh tidak-tidak itu sama saja, badanku gemetar, lalu kuputuskan untuk mematikan gawai dalam genggaman.

Sore ini, kamu menyatakan hal yang aku impikan tiga tahun lalu, yang masih terus aku pertahankan untuk tetap sabar menanti setiap harinya, hingga lemah tertatih untuk memendam harap. Sayang sekali semua tak lagi sama, cintaku masih ada, bersemayam di sudut hati yang khusus kusiapkan untukmu namun keyakinanku hilang bersama waktu-waktu yang terbang.



Bersambung…


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

Posting Komentar