"Kapan hendak kau bawa kardus-kardus itu?"
Lagi, hal yang sama selalu ditanyakan berulang setiap aku berkunjung. Bapak mertuaku usianya telah senja, ditinggal ibu saat anak-anaknya memilih kehidupan terpisah dengan keluarga kecil mereka. Terlebih sejak tidak ada ibu, sosok bapak sebagai lelaki pendiam membuat jarak dan kecanggungan untuk menjalin silaturahmi.
"Kapan?"
"Iya pak, saya bawa sedikit demi sedikit."
"Kenapa tidak menyewa mobil?"
Aku terdiam. Suamiku sendiri menjaga jarak dengan bapaknya, menganggap kesendirian bapak sebagai balasan atas pengabaian terhadapnya. Jika kardus itu aku bawa pulang maka jelas suamiku menolak untuk membawanya masuk ke rumah. Lalu hendak diletakkan di mana?
"Ya sudah tidak apa-apa."
Suaranya terdengar pasrah, beliau menyadari posisiku.
"Saya telpon mobil sekarang Bapak, semua kardus itu bisa diangkut semua," seruku dengan senyum tulus dari hati. Bapak memandangku dengan diam namun genangan di pelupuk matanya mengabarkan isi hatinya.
Hanya itu yang bisa aku lakukan terhadap laki-laki tua yang tak memiliki lagi semangat menjalani sisa-sisa hidup yang entah tersiksa hingga kapan. Kardus itu berisi kenangan tentang Ibu, mungkin melihatnya semakin membuat Bapak tak kuasa untuk bertahan dalam sepi. Dan tentang nasib kardus itu biarlah urusanku, aku tak mau kisah Bapak terulang lagi pada suamiku kelak.
--------------------------
based on true story.
Bapak juga manusia yang berpeluang besar melakukan kesalahan, cukuplah penyesalan menjadi balasan terpahitnya jangan lagi ditambah dengan ditinggalkan oleh anak-anak tersayang.
😢😢😢
Kenapa bapak?
BalasHapus😢😢😢😢😢