Biar Aku yang Berjuang

5 komentar
Bruggg...

Hening malam membuat suara tubuhku yang berdebam terdengar jelas. Semoga saja ini tidak memancing orang-orang untuk keluar rumah dan menuju sumber suara. Semoga saja lelap tidur mereka hingga suara sekeras apapun tidak mampu mengusik.

Ngilu di tangan kiri terabaikan, ada sesuatu yang lebih penting untuk dipikirkan, seseorang yang mungkin saja akan menyusul kepergianku. Aku mencoba mencari jalan lain agar tak mudah untuk ditemukan. Namun rasa gugup juga takut membuatku tidak benar-benar memperhatikan jalan tikus yang licin penuh lumut.

Kerlip bintang bertebaran di langit malam yang semakin kelam namun tidak dengan semangatku yang justru menyala terang. Maka kecelakaan kecil semacam ini tidak boleh menjadi penghalang. Harus bangkit dan kembali bergegas dan melupakan rasa sakit.

Kenapa terburu-buru?”

Sebuah tangan terulur untuk membantuku namun persendianku lumpuh seketika, bahkan sekadar untuk mendongakpun tak ada daya. Suaranya mencoba tenang dengan desah napas tertahan. Ia ada di sini, berhasil menyusulku.

Sosok itu berjongkok, telunjukkannya mengangkat daguku, sedikit memaksa agar tatapan mata kami beradu namun aku memalingkan wajah ke arah aliran sungai yang tersumbat banyak sampah. Bahkan itu lebih baik daripada melihat dula bola hitam di matanya.

Ayo pulang.”

Genggaman tangannya mencengkram pergelangan tangan kananku, semakin mengencang seiring aku memberontak. Kini kedua tangannya berada di pundakku siap mengangkat tubuhku yang jatuh terduduk. Aku menggeleng, lelehan air mata membanjiri pipi, tatapan memohon coba aku hadirkan namun kini giliran ia yang membuang muka.

Mau sampai kapan?”

Suaraku tercekat, jelas itu hanya pertanyaan retorika. Sebab apapun yang coba aku ungkapkan hasil akhirnya harus sama, kembali pulang menuju rumah berdinding anyaman bambu dengan alas tanah yang bergelombang juga atap yang siap diterbangkan angin jika ribut sedikit saja.

Aku tak akan pernah mengijinkanmu untuk melakukan ini,” ibu jari kanannya menghapus warna merah menggoda yang tertempel di bibirku lalu jemarinya merapikan anak rambut yang berhamburan menutupi wajah, rok miniku yang tersobek, juga berbagai peralatan rias yang menghambur dari dalam tas.

Kamulah kehormatanku, apapun alasanmu melakukan ini aku tidak ijinkan. Kita pulang, biar aku yang berjuang.”

Semakin dalam aku terisak, bagaimana bisa aku bertahan hidup dalam gubuk reot dengan seorang pria bodoh yang penyayang ini? Berjuang? Hah, bertahun-tahun ia terus saja mengatakan hal itu namun kenyataannya tak sesuai. Cukup. Aku muak.

Baiklah sekarang pulang, nanti akan aku pikirkan lagi cara untuk kabur dan menjemput kehidupan yang aku impikan.



#TugasKelasFiksi4


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

5 komentar

Posting Komentar