Tersirat

3 komentar
"Hey... Berhenti... berhenti..."

Aku melirik sekilas seseorang yang berteriak di sampingku, tampak normal saja namun kenapa perilakunya seolah mendekati orang gila? Kembali kupacu sepeda motor.

"Fay... berhentiiii...."

Orang itu mengenal namaku? Ahh ya ingat, tetangga desa. Pasti ada yang mendesak hingga ia berulang kali harus menyuruhku berhenti, tidak berbahaya, maka kutepikan motorku.

"Tukeran motor," serunya setelah memarkirkan motor miliknya sendiri.

Aku mengerutkan dahi, jangan-jangan ini orang memang benar sudah agak gila.

"Awas..."

"Mau merampok?"

Matanya melotot, tidak menyangka aku mengetahui niatnya.

"Sembarangan, motorku juga ga kalah bagus dari motormu, tahu?"

Iya aku tahu, ahh mungkin memang benar kalau orang ini sedikit terganggu.

"Ayo.."

"Enak aja, ga mauuu."

"Yeee, daripada kamu dimarahin bapakmu sampe rumah, mau?"

Lah, kenapa bapakku dibawa-bawa?

"Lihat, telur yang kau bawa akan hancur jika sampai rumah."

"Tidak percaya, aku bisa membawanya."

Dia terlihat gemas, aku diamkan saja, jalanan beraspal di siang terik ini cukup lengang membuat satu dua pengendara yang melintas melirik ke arah kami.

"Fay, aku hanya ingin menolongmu."

"Aku bisa membawa telur ini sampai di rumah, titik."

"Oke.. kalau begitu dengarkan aku sebab membawa telur ayam mentah dalam peti juga ada seninya, paham?"

Aku menggeleng, sejak kapan membawa telur ayam memiliki seni tersendiri?

"Pertama... "

Dia mengacungkan jari telunjukknya tepat di depan hidungku.

"Kecepatan kendaraanmu harus stabil, begitupun jika melewati polisi tidur, menghindari lubang, mengerem atau semisalnya. Jika tidak maka akan terjadi benturan antar cangkang."

Masuk akal, "Lanjutkan."

"Kedua, panas terik matahari mampu mengubah warna cangkang menjdi putih, jadi sebaiknya Fay, kau membawa plastik atau apa pun yang bisa menutupinya."

"Kenapa?"

"Hey, kau niat berdagang tidak? sekarang warga desa pun tahu telur yang baik cangkangnya berwarna coklat tua bukan putih, paham?"

"Ada lagi?"

"Itu dulu sementara."

"Lalu apa salahku?"

Kembali matanya melotot, tidak menyangka aku mengeluarkan pernyataan yang membuatnya mengerutkan dahi.

"Kau melanggar semuanya..."

Kembali aku berpikir, benar juga sih, jalanan sepi membuatku melaju normal seolah tak ada barang apa pun yang kubawa.

"Aku bisa berhati-hati," jawabku segera.

"Biar kuberi contoh."

"Tidak, bagaimana jika kau membawa lari motor dan telur-telurku?"

Sekali lagi matanya hampir saja keluar mendengar aku melontarkan pertanyaan itu, kebiasaan yang aneh. Kemudian dia mengeluarkan dompetnya, membuka untuk menunjukkan sim, ktp dan sedikit lembaran uang lalu menyerahkan kepadaku.

"Ini jaminan, toh kau tahu di mana rumahku, ada ayah dan ibuku di rumah."

Sepakat. Aku bersiap menaiki motornya, lalu sesutu terlintas begitu saja, dia juga sudah sedia jalan saat aku menghadangnya.

"Apa lagi?"

Kali ini mata itu kembali ingin keluar, duh benar-benar orang yang aneh.

"Kenapa kau mau membantuku?"

Senyum hadir di wajah ovalnya, tatapannya berubah teduh dan menyenangkan namun tak ada jawaban, matanya tak berkedip, aku bahkan menyimpulkan ada sesuatu yang salah dengan indera penglihatannya itu.

"Baiklah, kita jalan."

Akhirnya aku memutuskan keheningan sesaat itu, cukup jelas bagaimana dia menyembunyikan sesuatu yang belum siap untuk diungkapkan namun begitu ingin dibuktikan sebagai sebuah kesungguhan. Bapak, lihatlah sendiri siapa yang membersamai putrimu ini.



Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

3 komentar

Posting Komentar