Lintang

4 komentar
Aku memejamkan mata, pilihan untuk pulang akhir ternyata menjadi sebuah masalah. Biasanya sebelum jamaah laki-laki keluar aku sudah meninggalkan mushola -memang benar ini tidak sebesar masjid, menjadi pilihan beberapa orang yang ingin suasana sunyi dalam beribadah- namun kali ini mungkin doa yang aku panjatkan terlampau panjang hingga saat membuka mata rombongan kaum adam sibuk memilih sandalnya masing-masing. Terpaksa aku menunggu sepi.

Ayahku termasuk orang yang tak tergegas untuk meninggalkan masjid, maka tenang saja hatiku meski arah pulang melewati pemakaman desa. Bukan, bukan di situ masalah terbesarnya. Tapi dia.

Tubuh jangkungnya dibalut baju koko coklat tua, tangan kanannya mengenggam erat kitab suci yang juga bersampul coklat tua, tangan kirinya merangkul teman di sampingnya. Mau tidak mau aku mendengarkan sedikit percakapan mereka.

Demi mendengar suaranya hatiku bergetar tak menentu, sudah cukup hati melambung mendengar dia melantunkan ayat suci, mengimami kami shalat isya berjamaah dilanjut taraweh dan witir, kini, aku mendengar dia bercakap-cakap santai? Oh Tuhanku Yang Menggenggam Hati, aku bisa apa?

Perjalanan kami tak panjang, keluar dari mushola kami melewati pemakaman desa yang remang lalu dua ratus meter selanjutnya terdapat pertigaan yang memisahkan dia dengan teman-temannya. Kembali aku memejamkan mata, berpikir... berpikir...

Nah, benar, dia yang kini berjalan sendiri mulai mencari teman untuk tiga ratus meter melewati kebun tanpa penerangan.

Hatiku berdesir merekam jejak patah-patah kepalanya menengok ke belakang.

Seeettt...

Aman... aku berlindung di balik punggung ayah.

Belum aman, dia bergabung bersama rombongan ayah, pak rt dan satu tetangga lagi. Aku menahan napas yang memburu.

Tiga ratus meter berlalu, akhirnya dia mengambil jalan yang berbeda denganku. Memperlebar jarak dan membuatku mampu bernapas normal.

Sesuai nama yang orangtuamu beri sungguh hadirmu laksana bintang yang menerangi gelap malam dan aku satu dari sekian makhluk yang terkungkung dalam malam pekat, menikmati siraman cahaya yang tak henti berpijar dari sosokmu.

Hai kamu, jika esok kita bertemu maka jangan sakit hati jika aku menghilang dengan segera dari hadapmu, sungguh ada gemuruh yang tak perlu semua tahu.



Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

4 komentar

Posting Komentar