Kepingan Rasa Puzzle 30

2 komentar
Puzzle sebelumnya di sini


Tak lama setelah bel masuk sekolah berbunyi Pak Arif mengumumkan hal yang membungkan semua siswa.

"Tutup semua buku kalian, kita ulangan hari ini."

Segala protes dilayangkan beberapa siswa, tak mengubah apa pun.

Sepuluh menit selanjutnya hening mendominasi, semua siswa sedang berusaha memecahkan misteri struktur atom yang merumitkan. Menginjak menit kesebelas satu dua bunyi mulai muncul entah pena yang terjatuh, desisan memanggil teman seberang atau kursi yang bergeser perlahan.

"Tidak ada suara, selesai kumpulkan, kalian boleh keluar setelah itu."

Iming-iming Guru Kimia kami tersebut toh tidak menarik siapa pun, mengumpulkan kertas ulangan itu berarti menyelesaikannya. Nyatanya tidak bagi Romeo. Asal mendengar kata keluar kelas maka semangatnya membara.

Aku berbalik, mendelik ke arahnya. Ini bukan kali pertama dia mengusikku. Semprotan berisi cairan pembersih kaca sukses membasahi jilbab belakangku. Bukan... bukan untuk mencari contekan jawaban soal tapi untuk mengajak keluar kelas. Aku bahkan sangsi dengan jawaban-jawabannya tersebut.

"Keluar sendiri, aku belum selesai," gertakku.

"Iya, Ciani, ada yang bisa Bapak bantu?"

Nah kan ketahuan.

"Romeo kerjakan sendiri, Bapak tidak segan merobek kertas kamu tidak jawabannya menyalin milik teman. Peringatan untuk kalian semua."

Siswa yang disebut namanya berdiri, seolah menantang, semua mata memandang, mau bikin ulah apa lagi sih ini orang.

"Saya sudah selesai Pak," ujarnya seraya maju.

Pak Arif dibuat melongo saat menerima secarik kertas penuh dengan coretan tangan. Beliau segera kembali ke meja, mengoreksi hasil pekerjaan siswanya yang mampu menyelesaikan soal kimia hanya dalam lima belas menit.

"Cili, aku mau bilang sesuatu, ini penting. Segeralah keluar kelas, aku tunggu di kantin," lirih Romeo berbisik sebelum beranjak pergi dengan muka girang luar biasa, teman-teman yang lain gusar.

Aku diam saja, dalam hati berucap, ahh ada gitu sesuatu yang penting jika Romeo yang menyampaikan, paling juga bicara tentang satu nama.

Gilang.

Tiba-tiba fokusku hilang.

Soal ini tidak begitu sulit, aku selalu mengulang pelajaran malam sebelumnya namun tiba-tiba otakku tak mampu mencerna apa pun. Orang itu, kenapa dia mengusikku, padahal wujud nyatanya tidak ada. Pengganggu.

Sepeluh menit kemudian aku menjadi siswa kedua yang mengumpulkan kertas ulangan, berbeda dengan ekspresi saat menerima milik Romeo, Pak Arif tersenyum dan mengangguk seolah yakin bahwa jawabanku memuaskan, mungkin iya jika saja otakku tidak sedang memikirkan hal lain.

"Ayo yang lain? kalian tidak mau mendapatkan waktu bebas hingga satu jam pelajaran berakhir?"

Teman-teman sekelas sibuk dengan segala macam hal, apapun itu agar mampu segera menyusul aku dan Romeo keluar kelas.

Romeo duduk di bangku pojok kantin, aku menghampirinya, dari dekat jelas terlihat bahwa dia murung. Mungkin sedih karena teman sebangku tidak bisa hadir di kelas.

"Hai Romeo," sapaku.

Dalam hitungan detik, dia mampu merubah ekspresi wajahnya, tak ada lagi mendung menggelayut, ceria kini menghiasi wajahnya. Romeo, pandai sekali kau menyembunyikan perasaan.

"Eh Cili, kau memang murid pandai."

"Kau lebih pandai."

"Hahaaa... aku mah asal yang ngisi, bosen di dalam kelas."

Aku mengulum senyum, "Romeo, mau bilang apa?"

"Duduk sini," katanya menunjuk bangku panjang di hadapannya.

"Aku mau cerita," lanjutnya.

Semoga bukan tentang Gilang.

Tangan kanan Romeo memegang cabai, aku kira tangan kirinya akan mengambil gorengan tapi ternyata tidak, dia juga mengambil cabai. Cabai di tangan kirinya dimasukkan ke dalam mulut, mengunyahnya perlahan.

"Ini tidak pedas," serunya.

Hal yang sama juga dilakukan untuk cabai di tangan kanannya, "Ini pedas sekali."

Aku terkikik melihat Romeo ber- huh hah.

"Cili jangan tertawa, aku kepedasan ini."

"Minum dong."

"Tidak punya uang."

Aku menepuk pelan dahiku,lalu kemudian memesankan teh panas manis untuknya.

"Baik sekali kamu, sembari menunggu teh datang, boleh makan gorengan? aku tidak kuat pedasnya."

Kembali aku mengangguk.

"Baiknyaaa...."

Romeo hendak memasukkan tempe goreng saat aku mencegahnya, matanya berair menahan pedas, "Ke.. na... paa?"

"Berjanjilah padaku satu hal."

Kerutan di dahinya menyiratkan rasa heran yang teramat, mungkin Romeo berfikir aku kejam, memanfaatkan momen kepedesan untuk mengucapkan janji.

"Mulai saat ini, makanlah selalu dengan tangan kanan."

Romeo mendesah, lalu mengangguk dan mengunyah tempe goreng.

Teh panas datang, tak perlu basa basi Remoe segera memindahkan isinya ke dalam perut.

"Ahhh... legaaa.."

"Eh Romeo, tadi cuma mau bilang kalau cabai di tangan kanan lebih pedas dari di tangan kiri?"

Romeo membenarkan posisi, "Bukan sekadar itu."

"Lalu?"

"Seperti cabai, meskipun jenisnya sama tapi jika dari pohon yang berbeda rasa pedasnya pasti juga berbeda. Terlebih pemetiknya berbeda, ada pemetik yang tahu bahwa memang cabai itu sudah waktunya di petik ada yang asal petik. Sehingga cabai yang masih muda jelas tidak sepedas cabai yang siap petik."

Aku mengerjap, Romeo berubah menjadi seseorang yang berbeda.

"Hey, jangan memandangku seperti itu. Kau bisa terpesona nanti Ci."

Buru-buru aku mengalihkan pendangan, dih terpesonaku bukan dalam hal fisik, dasar Romeo.

"Nah Ci, begitulah perumpamaan aku dan Gilang."

Aku terkesiap, kenapa nama itu disebut lagi?

"Tunggu Ci, jangan marah, dengarkan."

Aku menghela napas.

"Gilang itu baik, berulang kali dia membantuku dalam banyak hal. Tapi kau tahulah kami ini sedang masa pertumbuhan, cepat lapar dan banyak makan. Itulah kenapa kami sering ke kantin saat pelajaran berlangsung."

"Lalu, apa hubungannya dengan cabai tadi?"

"Nah, cabai tadi adalah hasil penelitian kami selama bermeditasi di kantin."

"Terus?"

"Ya udah gitu doang. Penelitian masih berlanjut, kami masih akan meneruskannya, kamu orang pertama yang mengetahui proyek ini. Sebenarnya Gilang nglarang buat ngasih tahu siapa pun, tapi jika kamu yang tahu tidak mungkin Gilang marah."

"Romeo berhenti.. Aku mau kembali ke kelas."

"Tunggu Ci, udah dibayar belum tadi?"

Aku mengangguk. Melangkah keluar kantin, kenapa harus disebut lagi sih nama anak itu.


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar