Kamar Kosong

6 komentar
Kawan, masih ingat ceritaku kemarin? Baiklah kalian bisa membukanya kembali, silahkan Mungkin Hanya Perasaan .

Pagi ini Pak Bos dan Bu Bos datang, horeeee... Ada juga senior dan HRD, intinya lantai dua tidak sesepi biasanya. Sebab itulah kuceritakan kembali pada kalian sesuatu yang aku pun masih tertatih untuk mengenalinya.

Asisten yang biasa membersihkan ruangan pagi tadi sempat bertanya, "Mbak, sarang waletnya di buang aja gimana?"

Dibuang? Oh jangan, bukan... bukan karena kata orang sarang walet itu mahal toh cuma ada satu ekor ini, terlebih tidak ada yang mau mengurusnya. Tapi seekor burung walet itu memiliki andil besar terhadap rasa tenangku. Begini penjabarannya, jika tanpa sengaja ekor mataku menangkap selintas bayangan maka langsung burung walet menjadi kambing hitamku. Ahh, pasti burung itu sedang terbang mengitari ruangan.

Nah, jika dia di buang lantas siapa yang akan aku kambing hitamkan?

Maka dengan menutupi rasa gemetarku aku menjawab, "Kenapa harus di buang, Mak?" Mak adalah panggilan kami untuk beliau yang berasal dari kampung nun jauh dari Kota Solo dengan infrastruktur sedikit kurang maju.

"Kotorannya jatuh di lantai semua."

Iya sih, tapi kan sedikit, ia bisa membersihkannya tanpa waktu yang lama atau aku akan meminta seseorang untuk membuatkan papan agar kotorannya tidak jatuh ke lantai atau apapun lah asal burung itu jangan di buang.

"Lagi pula di depan kamar, Mbak."

Kamar? Tunggu. Ada kamar lain di dalam ruanganku? Dimana? Bukankah hanya ada empat seperti yang aku ceritakan kemarin?

"Maksudnya, Mak?"

"Iya, besok kalau saya di suruh beresin kamar yang ini pasti repot kalau setiap buka pintu ada kotoran burung."

Mataku mengikuti telunjuk beliau, dan benar ada yang luput dari pandanganku selama ini. Yah jelas saja aku tak pernah benar-benar mau menatap detail apa-apa yang ada di dalam ruangan ini. Melihat seperlunya saja.

Kamar itu tidak berdinding tembok, tapi multiplek dengan ketebalan tiga centimeter yang di cat satu warna dengan tembok. Kalian harus benar-benar memelototinya untuk mengetahui bahwa ada pintu pada bagian persis di bawah sarang walet yang terbentuk di sudut dinding.

Tidak ada handle pintunya. Datar. Tapi aku tahu itu pintu. Ahh bagaimana menjelaskannya, ada sedikit celah antara pintu dengan dinding yang terbuat dari multiplek tersebut, ada, sedikit.

"Mak, isi kamar itu apa?"

Tolong jangan tanya bagaimana aku merasakan bulu kudukku berdiri saat mulutku mengucap kalimat tersebut. Penasaran yang mendorongku.

"Tidak tahu mbak, tidak pernah dibuka."

Begini, jika tidak ada handle pintu pastilah pintu tersebut tidak terkunci. Tidak mungkin kan terkunci dari dalam?

"Mau dibuka mbak?"

Hampir aku berteriak untungnya tidak, "Jangan Mak, sudah biarkan saja."

"Sarang waletnya?"

"Biarkan juga, minta tolong dibersihin aja ya Mak tiap hari."

Beliau mengangguk dan kembali mengepel lantai di kamar sebelahnya.

Hari berlalu tanpa sesuatu yang mengganggu. Saat senja menyapa itu berarti waktunya menyudahi aktifitas di lantai dua. Kakiku melangkah menjauhi meja kerja, melewati kamar multiplek dan kulihat celahnya semakin lebar.



Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

6 komentar

Posting Komentar