Kepingan Rasa puzzle 4

2 komentar

Baca puzzle sebelumnya di sini

Tak terdengar lagi bising kendaraan yang lalu lalang di jalan aspal depan rumah, aktivitas warga desa seperti berhenti total. Saatnya makhluk nocturnal mengambil kuasa.

Hampir tengah malam saat aku berjalan menuju kamar nenek, di dalam ada bulek-sebutan untuk adik kandung orang tuaku juga ayah dan ibu di aamping tubuh nenek yang semakin lemah. Mereka sedang berbicara dengan suara pelan. Aku tak mendengarnya.

Ibu...,” seruku lirih.

Semua perhatian beralih padaku.

Aku ingin tidur berdua dengan nenek malam ini.”

Bulek menghentikan pijatannya pada kaki nenek, ayah dan ibu terdiam.

Ijinkan aku.”

Mereka berdiri bersamaan, meninggalkan kamar nenek satu persatu, bulek mengusap kepalaku yang kemudian diikuti oleh ayah dan ibu. Aku bergeming.

Nenek tidak tidur di atas dipan, beliau tidur di atas kasur yang di bawahnya dilapisi karpet agar dingin lantai tidak membuatnya menggigil. Ini agar mudah baginya jika hendak ke kamar mandi, begitu kata ibu saat kutanya mengapa.

Seingatku sudah sebulan ini nenek hanya di atas kasur saja, tidak kemana-mana, segala aktivitas dilakukan di atas kasur. Itu sejak dokter dimana dulu nenek pernah dirawat angkat tangan terhadap penyakit beliau.

Aku merebahkan tubuhku di samping nenek, mengamati seksama tubuh orang paling bijak yang kini tengah terpejam, napasnya berat dan pendek-pendek. Entah apa yang mendorongku untuk tidak terlelap, aku ingin malam ini menjaga nenek namun akhirnya aku tertidur dan sayup suara adzan subuh mengejutkanku. Harusnya aku tidak ketiduran.

Lega menjalar saat kulihat dadanya masih naik turun meski matanya tetap terpejam. Dalam sujud terakhir kulangitkan doa untuk nenek. Tidak tahu lagi mana yang terbaik untuk nenek, yang pasti terbaring seperti ini jelas sangat tersiksa.

Tuhan, kiranya Engkau hapuskan dosa-dosa nenek dengan penyakitnya.

Fajar mulai menyingsing saat aku menyadari ada yang berbeda dari nenek. Matanya terpejam namun tak ada suara napas berat yang selalu terdengar. Tangannya masih hangat saat aku memegangnya namun telapak kakinya sudah dingin.

Tak boleh ada air mata, kubisikkan perlahan kalimat tahlil pada telinga beliau, ketika tangannya dingin aku membelai lembut wajahnya dan berhenti saat wajah beliau juga terasa dingin dan pucat.

Inikah yang terbaik untuk nenekku?

Gontai aku keluar dari kamar nenek, bagaimana aku akan mengabarkan pada semua?

Bulek adalah orang pertama yang aku temui. Beliau membawa baskom berisi air hangat yang rencananya akan digunakan untuk membersihkan tubuh nenek. Dibelakangnya Om Burhan-suami bulek menyusul, sepertinya bulek lupa membawa handuk.

Tanpa kata aku mengambil baskom dari bulek.

“Buat sibing nenek, De.”

Aku memaksanya hingga bulek menyerahkan, mungkin dia masih berpikir bahwa aku yang akan melakukannya.

Tapi kecurigaan muncul saat aku tak berbalik ke kamar nenek.

“Airnya mau dibawa kemana, De?”

Aku membisu. Bagaimana ini?

“De..,” kali ini Om Burhan menegaskan pertanyaan bulek.

“Nenek butuh lebih banyak air untuk mandi.”

Segalanya lalu berjalan cepat, bulek berlari ke kamar nenek, sedetik kemudian Om Burhan memaksa bulek keluar dari kamar, kulihat bulek menjerit dan meronta.

Ayah mencengkram erat pundak ibu. Ibu adalah putri sulung nenek dan mungkin ayah berharap bahwa seharusnya ia lebih kuat menghadapi kenyataan ini. Ibu terduduk di kursi, perlahan aliran air membasahi wajahnya. Ayah menuntunku untuk mendekati ibu lalu berbisik, “Ayah percayakan ibu kepadamu.”

Tak ada sahutan dariku, erat kugenggam kedua tangan ibu saat ayah pergi ke luar rumah. Tak lama para tetangga sibuk menenangkan ibu dan bulek. Aku hanya diam.

*** 

Nantikan kelanjutan cerita pada puzzle berikutnya...


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

2 komentar

Posting Komentar