Kamu dan Bumi

4 komentar
Begini saja aku coba peruntungan dengan menggodanya. Letih yang mendera mungkin saja membuat otaknya panas untuk menangkap hal-hal serius, terlebih Aa memiliki selera humor yang “nyleneh”. Baiklah, harus mulai dari mana ya? Oke, sejujurnya pikiranku sedang menyusuri setiap inci rerumputan hijau alun-alun, bagaimana bisa aku membuat guyonan di depan ahlinya? Kalau jatuhnya garing gimana? Tak apalah, harus dicoba.

Ada sekitar empat ekor kerbau yang sedang merumput tiga ratus meter di depan kami, mungkin sebentar lagi mereka akan tergeser oleh anak-anak yang sibuk mengerubungi satu bola untuk menembakkannya masuk ke dalam gawang. Coba berpikir untuk mengeluarkan rayuan, dalam anganku seperti ini,

Aa tahu ga, apa bedanya kerbau yang di sana dengan Aa?

Apa?

Kerbau itu merumput di alun-alun, kalau Aa menetap di hatiku

Ngga nyambung, guyonan gagal total. Sudah terlalu biasa di dengar, bukan hal baru lagi.

Aku menengadahkan kepala, mendongak mencari inspirasi dari arakan awan putih yang membentuk wajahmu, eh, tidak-tidak pasti Aa akan menyindirku karena telah mencuri lirik dari penyanyi cantik favoritnya, Raisa.

Ekor mataku menangkap bahwa Aa sama sekali tak bergerak, jagung serut beserta es jeruk ia abaikan. Heeeem, tumben ia tak berminat dengan makanan, setauhuku hasrat ingin mengunyah sama besar dengan keinginannya berkenalan denganku dulu, hayoo ngaku aja Aa, iyakan? Buktinya repot-repot ngajak keliling bandung.

Telapak tangan kiriku menutup mulut, menahan cekikikan yang bisa membuat rancu suasana.

Duh, terlalu lama menghabiskan waktu. Eemmm,

“Aa kita disini sampai malam ya?”

Sunyi, tak ada respon, menengokpun tidak. Jangan-jangan tidur lagi, eh bukan matanya masih menerawang jauh, pasti kangen rumah, iyalah Aa kan anak mamah.

“Temani aku menanti seseorang yang begitu penting dalam hidupku”

“Seseorang yang menerangi gelap kesendirianku dalam harap”

Eh, aku salah langkah, pasti Aa mikir kalau aku sedang membicarakan Kak Frans, duh.

Hisss... gemas juga melihat tingkahnya. Aku beranjak untuk duduk di depannya, mengajak duel untuk memecahkan kesunyian yang menyiksa ini. Siapapun yang keluar menjadi juaranya bukan masalah penting, mencoba adalah langkah awal untuk mengetahui itu semua.

“Aa ngga tahu pasti aku sedang membicarakan siapa, kan? Ahh sudahlah. Aku bantu untuk menjawabnya”

“Jika bumi punya matahari maka akupun punya Aa....”

Sengaja tak kulanjutkan kalimatku, sejauh ini berhasil sebab perhatiannya mulai beralih kepadaku, mungkin ia menunggu untuk menertawakan kegagalanku, tak apa, tak peduli.

“......sesuai nama yang diberikan kedua orang tuamu, Gilang yang berarti cahaya adalah sosok yang sejak tadi aku bicarakan”

Segera setelah itu aku menutup mata, menunggunya menertawakan gombalanku terlebih sebuah sentuhan di hidungnya yang membuat malu, duh kenapa hal terakhir harus aku lakukan? Angin yang berhembus memaksaku membuka mata perlahan dan mendapati kemenangan atas aksi diamnya. Senyum itu hadir lagi.

Untung tadi aku tidak melibatkan kerbau yah :)


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

4 komentar

Posting Komentar