Pusing, Mual, dan Rasa Ingin Muntah

1 komentar
"Tam, kita motoran aja yuk ke ngawinya?”

Ogah dih, capek Kak. Naik bus aja”

Aku menghela napas, anak sulung dari bulek memang keras kepala. Sekali bilang tidak ya tidak selamanya.

Cuaca sedang tak menentu, Kak. Kasihan jika nanti kau harus kehujanan”

Bisa saja ia memberi alasan, tinjuku mendarat tepat di atas lengan atasnya yang tak banyak tumpukan lemak, tampang meringisnya hanya pura-pura, paham benar aku.

Jadi disinilah sekarang kami berada, duduk di kursi paling depan dekat dengan pintu masuk keluar sebuah bus AC ekonomi yang melaju kencang jurusan Jogja Surabaya.

Nah, kalau naik bus kan aku bisa tidur,” ujarnya sembari mencari posisi ternyaman untuk tiga jam ke depan.

Lirikanku tertangkap matanya, ia hanya tersenyum menampakkan deretan gigi putih. Aku juga mencari posisi bersiap untuk tidur.

Duugg.. dugg.. aduh kepalaku terantuk jendela kaca bus.

Senderkan saja kepalamu pada pundakku, dari pada benjol”

Aku menggeleng.

Ayolah Kak, aku sudah berbaik hati menjagamu, jangan sampai budhe memarahiku nanti jika melihat putrinya benjol”

Kembali terlelap, mengabaikan ocehannya yang tiada henti. Ahh, bukankah tadi ia yang pamit duluan untuk tidur? Kenapa berisik sekali. Beberapa saat aku tak sadarkan diri, terbuai dalam mimpi, hingga rasa pusing melemparkanku hingga terjaga.

Kepalaku sudah bersender pada pundak Tama, ia juga terlelap.

Hueek...

Aku membekap mulut, Ya Tuhan jangan sekarang kumohon. Tama terbangun, menegakkan badannya lalu memperhatikanku, “Kenapa Kak?”

Aku menggelang, kembali menutup mata, melupakan rasa mual yang menggoda.

“Jangan bilang Kakak hamil”

Kepala besarnya harus menerima tinju dari kepalan tangan mungilku, rambut gondrongnya berayun ke kanan dan ke kiri. Setelah mengusap lembut bekas tinjuku tatapannya menyelidik, “Katakan Kak, siapa ayah calon ponakanku?”

Ingin rasanya aku membekap mulut kurang ajar itu, namun sepertinya lebih baik aku menahan rasa mual yang teramat sangat ini. Keringat dingin mulai membasahi dahiku. Kupaksakan diri untuk tidur, tidak bisa. Tama mulai panik, tidak tahu apa yang mesti ia lakukan. Hah.. anak yang setahun lalu masih menggunakan seragam putih abu-abu ini memang kebanyakan tingkah.

“Kak, minum?” ia menyodorkan air mineral yang hanya kubalas dengan gelengan kepala. Tubuhku lemas, pusing masih mendera.

Slayer yang dibebatkan pada pergelangan tangan Tama aku ambil dengan paksa, menggunakannya untuk menutup mulutku. Berpaling membelakanginya dan mencoba untuk terlelap.

“Kak..,”

Harusnya Tama paham dengan arti pelototan mataku bahwa aku tidak mau diganggu.

“Baiklah... baiklah...”

Sepuluh menit sebelum sampai di Pasar Ngale, aku terbangun. Rasanya sudah lebih baik meskipun rasa pusing masih tersisa. Tama melirikku namun tak berani berkomentar.

Kami keluar dari bus, lega sekali menghirup udara bebas. Terhuyung aku melangkah mencari tempat duduk, Tama mengikuti. Ia duduk disampingku masih mengamati namun tak berani mengatakan apa pun. Lucu sekali tampang lelaki yang sering kali sok berlagak dewasa di hadapanku ini.

“Kau kenapa?”
 
Tama tersenyum, mungkin pertanyaanku ini menjadi pembuka dari segudang pertanyaan yang ingin ia sampaikan.

“Kak, kau benar hamil?”

Ia telah menghindar sebelum tinjuku mengenainya untuk yang kedua kali.

“Haahaaa, doakan saja kakakmu ini selalu dilindungi Yang Maha Esa, agar terhindar dari hal-hal yang tidak seharusnya terjadi”

“Tapi tadi di dalam bus? Mual, pusing, ingin muntah? Seingatku itu gelaja hamil loh Kak, jangan coba membohongiku”

Kali ini bukan ejekan, dari kedua bola mata yang kecoklatan tersirat rasa khawatir yang mendalam.

“Sakit maag akut juga seperti itu gejalanya”

“Cukup Kak, kau tak perlu malu. Biar aku bantu untuk mengatakan pada budhe nanti”

Kujitak kepalanya, ia mengaduh.

“Makannya, jangan hanya nonton drama saja kau itu”

“Kakak kan tidak punya riwayat penyakit maag, tidak mungkin tiba-tiba langsung akut”

Ahh, ia pengingat yang baik. Tangan kiri Tama mengepal, sorot matanya memancarkan kesungguhan. Baiklah sebelum ia berprasangka yang tidak-tidak.

“Hei, bocah. Itulah kenapa aku memintamu untuk mengendarai sepeda motor saja. Gejala yang terjadi dalam bus adalah tanda aku mengalami mabuk perjalanan sebab tidak kuat dengan adanya gerakan berulang kendaraan”

“Apa bedanya dengan naik sepeda motor?”

“Dengan sepeda motor aku masih bisa menghirup udara bebas, tidak terperangkap dalam kotak seukuran bus saja”

“Tapi Kak dengan banyaknya udara bebas, kau bisa saja masuk angin loh”

“Itulah gunanya aku mengajakmu, kau yang di depan, jadilah tameng agar angin tidak langsung menerpa keras tubuhku”

“Hei... hei... kau menumbalkanku?”

Tawa renyah memenuhi langit Ngawi, aku tahu aku mabuk darat, tapi lupa untuk menelan obat yang bisa membantuku terlelap cepat di dalam bus, beginilah jadinya, merepotkan dan menimbulkan prasangka yang tidak-tidak.

“Kak?”

“Hemm...”

“Jika ada lelaki yang macam-macam denganmu, katakan saja padaku biar kuberi pelajaran”

Ahhh, mulai lagi sok dewasa dia.

“Nih, kukembalikan slayermu”

“Dih jorok, cuci dulu, setrika yang wangi baru dikembalikan”

Dengan cepat aku menangkap tangan kanannya, menalikan slayer pada pergelangan dan berlari menjauh meninggalkan Tama yang berteriak disepanjang jalan dimana hanya ada tanaman padi hijau yang terhampar.


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

1 komentar

Posting Komentar