Prasangka

2 komentar

Ekor mataku tak lepas sedikitpun dari sosok di samping jenazah itu, matanya sembab, seluruh wajahnya bengkak, tak ada air mata namun sesekali ia masih sesunggukan. Ahh, mana aku tahu kemana larinya air mata itu, mungkin saja sudah ia habiskan tadi saat keluarga jenazah datang untuk merelakan anggota keluarga mereka pergi dan tak kembali untuk selamanya.

Selendang hitam menutup  rambut panjangnya yang digelung, terusan hitam sempurna menandakan kesedihan yang mendalam. Ya, ya, mungkin semua mata akan tertipu tapi aku tidak, tidak sepolos itu menilai ia.

Satu persatu pelayat datang menyalami, orang yang kenal dekat bahkan memberikan pelukan sebagai simbol menyalurkan ketabahan dari peristiwa duka cita ini. Aku mulai bosan melihat ia yang kian mahir bersandiwara.

Ahh, mataku sepat melihat pemandangan yang sedari pagi didominasi olehnya, seketika aku melirik jenazah yang dikerubungi sanak saudara kemudian lama tertegun. Tunggu. Kenapa tak ada perubahan? Jangan-jangan. Aku menarik napas perlahan, kini bola mataku meloncat ke dua arah, jenazah dan ia-wanita paruh baya itu.

Sebentar. Ada yang tidak beres.

Aku mendekati jenazah, memastikannya berulang kali, tak peduli tatapan mata yang menaruh curiga, justru aku sedang melawan rasa curigaku sendiri saat ini.

Kembali melakukan tatapan mendalam kepada wanita itu, raut wajahnya tak berubah, masih sama dengan mata sembab dan wajah yang bengkak, arrrggg, susah memutuskan jika hanya melihat. Maka aku mendekatinya, meraba tangannya, aiihh, ini hanya dalih menuntaskan segala hal janggal yang terlihat mata.

Apa iya aku sudah tertipu?

"Bu, apa Bapak sungguh sakit?"

Wanita itu menatapku, berkedip, lalu diam.

Aduuuhhh, aku tak bisa mengambil keputusan jika ia hanya diam.

Pikiranku melayang ketika satu desa gempar sebab Bapak pulang dengan wanita muda berbadan dua. Wanita itu marah besar merasa dikhianati, namun Bapak bersikeras membiarkan wanita muda itu tinggal di rumah. Malangnya wanita muda itu meninggal sesaat setelah ia melahirkan bayi perempuan mungil yang dengan sangat terpaksa di asuh oleh wanita itu.

Tak berselang lama, Bapak mendapat musibah jatuh dari pohon kelapa, kakinya lumpuh. Atas kejadian ini seluruh warga desa menganggap Bapak mendapat karma karena telah menyakiti istrinya dan simpati yang berlebihan diberikan kepada wanita itu yang dengan sukarela merawat Bapak juga bayi mungil tak tahu apa-apa. Hari demi hari Bapak tak ada perubahan justru beliau hanya bisa berbaring, separuh badannya ikut lumpuh. Dua belas tahun Bapak menjalani hidup di atas ranjang dengan kasih sayang istri yang telah dikhianatinya.

Cukuuuuuuup. Biar warga desa saja yang tertipu, aku tidak mau ikut bodoh seperti mereka. Kenapa tidak ada yang berpikir bahwa wanita yang mereka anggap berhati malaikat itu ternyata iblis? Bukankah sangat mudah membalaskan dendam sakit hati dengan kedekatan yang tiada sekat ini? Aku tahu dengan benar memang wanita itu rutin memberikan obat untuk Bapak, namun siapa yang bisa menduga apakah pil yang ia berikan benar obat? Kenapa Bapak tak kunjung sembuh?

Hhaaa, maaf aku tak mudah tertipu.

"Bu..." aku mencoba meminta penjelasan.

Arah mata wanita itu menuju kamar Bapak, eh apa ia sedang memberikan isyarat padaku? Maka segera aku bangkit dan menuju kamar Bapak. Tak ada beda, sama seperti hari-hari lalu, ahhh, aku dikerjain.

Aku duduk di tepi ranjang, memainkan tepian seprai yang terjuntai, memasukkannya ke bawah kasur agar rapi. lalu tanganku menyentuh sesuatu.

Apa ini?

Ratusan pil tersebar di bawah ranjang. Terungkap semua segala prasangka. Aku menghambur memeluk wanita itu, bahunya ikut terguncang dan lelehan air mata keluar membasahi wajah bengkaknya.

Bapak tak pernah meminum obat yang wanita itu berikan, semua pil yang ia masukkan ke dalam mulut dimuntahkan kembali. Itulah kenapa tubuh Bapak yang kini terbujur kaku tetap kurus kering tidak seperti tubuh yang akan menggembung ketika banyak obat dikonsumsi selama hidupnya.

Kenapa, Pak? Kenapa? Kenapa tak bisa percaya kepada wanita yang meski hatinya tersakiti namun tetap setia melayani?

Cinta seperti apa yang Ibu punya, Bu? 

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar