Nonton Tivi

Posting Komentar
Pagi buka mata aku sudah menonton tivi, siangnya masih di depan tivi sembari menikmati makan siang buatan simbok, malam menjelang masih sibuk dengan tivi hingga terlelap pun tivi adalah hal terakhir sebelum memejamkan mata.

"Ga ono enteke nduk, ben dino kok jer ndeleng tivi ae."

Aku abaikan nasehat simbok, meski begitu tetap saja segala keperluan harianku disiapkan. Makan tinggal ambil, tanpa perlu berbelanja atau masak dulu. Ahh, simbok memang juara.

Mataku berkedip cepat setiap tayangan seru itu memainkan perannya, sungguh tak tertebak alur cerita juga konflik apa lagi yang dimunculkan. Pemirsanya semakin banyak, ratingnya pasti terus menaik tajam.

"Urung rampung nduk?"

Simbok kembali bertanya, mungkin heran dengan tingkah lakuku yang tak mau beranjak dari depan tivi. Ahh, andai simbok mengerti, ia pasti juga akan menikmati keseruan tayangan ini.

"Mbok..."

Langkah tuanya terhenti, menoleh ke arahku dan duduk di sampingku setelah membaca isyarat yang kuberikan.

"Simbok percaya kiamat?"

Sengaja aku bertanya menggunakan bahasa indonesia, malu menjalar ketika nanti salah ucap sebab luput dari unggah-ungguh.

"Yo percoyo to nduk," jawab simbok dengan dahi berkerut, seolah mempertanyakan kewarasanku.

Nah. Ketemu. Ini... ini yang aku cari. Simbok menjawab segala pertanyaanku tentang tayangan di tivi yang belakangan ini mengguncang jagat raya. Tentang seseorang yang berperan dengan apiknya tanpa cela, meski seribu komentator menghujam ia tak terusik.

Ternyata....

Akhirnya aku beranjak. Mendampingi simbok menuju dapur. Tivi aku matikan. Sudah cukup. Terjawab sudah.

Selama aktor itu masih memainkan perannya maka selama itu pula ia menebar virus ke-tidak-waras-an.

Satu kebohongan akan memunculkan kebohongan-kebohongan yang lain, mau sampai kapan?

Sampai nanti, ketika tidak ada lagi kepura-puraan yang bisa ditunjukkan.

Hidup Simbok.
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

Posting Komentar