Jangan Bandingkan Aku

Posting Komentar
Di atas meja makan ukuran dua meter persegi ini aku tengah menanti, sebuah komentar tentang apa yang baru saja terhidang.

"Bagaimana?"

Mungkin raut wajahku kentara akan cemas yang berlebih, ia hanya tersenyum, belum juga menyentuh makanan di atas piring.

"Tidak mau dimakan ya?" Tanyaku melihatnya tak juga berniat untuk mencicipi.

Ia menggeleng, tersenyum, mengangguk.

"Apaan sih, ga jelas deh."

"Dulu ibuku..."

"Jangan bandingkan aku dengan ibumu," lirih aku berujar dalam tunduk malu.

"Eh bukan... bukan."

Ia kebingungan melihat reaksiku dari kalimat yang belum selesai terucap itu.

"Kamu sama dengan ibuku.".

Aku menatapnya, mana mungkin sama. Tentu ia hanya bergurau.

"Tersenyum dulu dong."

"Mana bisa, kau saja tidak mau menyentuhnya apalagi memakannya, kan? Biar aku bawa ke belakang."

Sigap tangannya menahanku berdiri, "Duduk dulu Dek, jangan ngambekan dong."

Aku bersungut. Ia tak mungkin paham, untuk menghidangkan ini saja aku harus berusaha keras. Memasak bukan keahlianku bahkan dapur adalah tempat yang mampu dihitung jari berapa banyak aku memasukinya.

"Dulu ibuku juga goreng tempe."

Diam aku mendengarkan dengan malas. Rayuan macam apa lagi ini.

"Sama sepertimu, tempenya diiris sedang tidak terlalu tebal, adonan tepung pun cukup saja, tidak encer. Sama dek, kamu menggorengbtempe yang sama dengan ibu."

Tak ada komentar, aku menatap tempe goreng yang masih hangat itu.

"Dan kamu juga melakukan hal yang tidak seharusnya, yang juga dilakukan oleh ibu. Itu mengapa aku tertawa, ini seperti de javu Dek, kamu mirip ibu. Aku sayang Ibu, juga sayang kamu."

Sayangnya aku tidak tersipu. Jika ia masih berbelit-belit maka aku akan segera membawa tempe goreng ini ke belakang. Akan aku habiskan sendiri.

"Tidak tanya apa hal yang tidak seharusnya itu?"

Aku diam saja. Memandang tempe goreng yang kurasa warna lecoklatannya saja seharusnya menggoda ia yang doyan makan.

"Duh, besok aku mau les cara menghadapi wanita ngambek, hhaa."

Nah kan... nah kan... bukannya segera menjelaskan ia malah muter ke sana ke mari. Aku beranjak. Ia kembali menahan.

"Dek, maaf yah. Sungguh aku hanya teringat ibu. Kamu mirip dengan ibu."

Aku bergeming.

"Hhaa, baiklah... baiklah... jadi istriku tersayang, menggoreng tempe itu tidak perlu kau tambahkan telur. Nanti adonan tepungnya lembek."

Aku menepuk dahi, menunduk.

"Maafkan aku."

Telunjuknya mengangkat daguku, senyum itu mengatakan bahwa tak ada yang perlu dimaafkan.

Aku melirik sepiring tempe goreng gagal di atas meja. Lalu dalam hitungan detik sebuah tangan mengambilnya, memasukkannya dalam mulut dan menikmatinya. Aku menggigit bibir melihat pemandangan di depan mata.

"Maafkan aku."

"Hhaaa. Kamu dihukum."

Aku mengangguk pasrah.

"Sini suapin aku. Aku mau makan tempe goreng banyak."

Dua garis lengkung menghiasi wajah. Ada haru dalam dada.
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

Posting Komentar