Aku merebahkan badan di atas hamparan rumput di kaki bukit, lelah mendera, kaki yang seolah tak mau bergerak lagi setelah tak henti berlari selama dua jam, menjauh dari kebisingan. Sepoi angin membelai wajahku yang kian pucat kedinginan.
"Tuhan, aku berdosa."
Tak ada sahutan di tempat yang sunyi ini, aku sendirian. Mengingkari nikmat Tuhan sungguh dosa yang tak terampuni, bagaimana bisa aku lalai?
"Tuhan..." napasku tercekat, masih pantaskah aku mengadu setelah dengan bangga aku memaksakan takdirku sendiri?
Kelebatan yang lalu datang bertubi-tubi menghujam dada meninggalkan sakit yang tak terperi, percayakah aku pada Tuhan?
Aku selalu percaya pada orang yang mengatakan bahwa Tuhan tidak tampak namun kita bisa merasakan kehadiran-Nya pada setiap apa-apa yang diciptakan sebab Tuhan sangat dekat, melebihi urat nadi kita sendiri. Mengapa Tuhan memilih untuk tidak menampakkan diri-Nya?
Aku ingin melihat Tuhan. Tidak. Bahkan Nabi Musa pingsan saat Tuhan menampakkan kebesaran-Nya. Apalah aku yang hanya ingat jika sudah terperosok dalam jurang kenistaan.
"Tuhan..." suaraku masih tertahan di tenggorokan, sungguh aku hanya ingin memohon ampun. Mengapa susah sekali?
Tuhan mencintai hamba-Nya. Aku menangis dalam diam, tak ada air mata yang membanjiri wajah, tak ada suara yang terdengar dan ini sungguh menyesakkan.
Aku memejamkan mata, semoga kelak saat Sang Surya menjalankan titah Tuhan-Nya aku sudah tidak di dunia ini lagi, semoga.
Posting Komentar
Posting Komentar