27 kilometer

4 komentar
Air mineral, buku catatan, pena biru, spidol orange, tissue, kaca, novel... sipp, semua hal yang aku butuhkan di tempat kerja telah tersusun rapi di dalam ransel. Eh tunggu, ponsel, mana ya, jangan lupa charger, mereka adalah penyedap kehidupan sebab tanpanya waktu berjalan hambar, hhee.

Segera aku mencabut ponsel yang masih terhubung dengan stop kontak di sudut kamar bersamaan itu muncul satu nama memenuhi layar, panggilan masuk.

“Assalamu'alaikum.”

“Walaikumussalam... De, udah berangkat kerja?”



“Belum, kenapa?”


“Mampir rumahku ya, ambilin flashdisk buat bahan presentasi hari ini, hhee.”

Aku menepuk dahi pelan, oh Tuhan, makhluk-Mu satu itu tidak hanya sukses membuat jantungku berdegub tak teratur setiap melihat senyumnya namun juga menggelengkan kepala tak habis pikir dengan sifat cerobohnya yang teramat.

“De...”

“Iya denger.”

“Jangan ngebut yah, hati-hati.”

“Oke, tungguin sambil berdoa mamah ada di rumah dan mau bukain pintu buat aku.”

“Deeeee.....”

Aku terkikik mendengar melas suaranya.

Dua puluh tujuh kilometer, jarak rumahku dengan kampusnya. Aku melirik sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangan, terlambat itu pasti, baiklah saatnya mengeluarkan jurus ijin telat kepada pak bos mendadak, hhaa.

Untung saja rumahnya satu arah menuju kampus sehingga tidak banyak waktu terbuang. Mamahnya sedang memarut kelapa saat aku datang, senyum lebarnya menentramkan, pantas saja dia gendut, mamahnya baik gitu, hhii pagi-pagi udah masak.

“Loh, pagi-pagi udah mampir?”

“Iya Tante, mau ngambil barang yang ketinggalan.”

“Waduh, Tante tidak tahu yang mana, pasti barangmu dipinjam lama dan nggak dikembalikan yah? Dasar anak itu, nanti biar Tante yang marahin.”

Aku tertawa tertahan dan mengangguk untuk menutupinya, hhaa... biar saja dia dimarahi, sekali-sekali.

Akhirnya flashdisk itu berada di tanganku, dengan kecepatan di atas rata-rata aku membelah jalanan kota, kendaraan lalu lalang mendahului dari sisi kanan namun lebih banyak aku yang meninggalkan puluhan kendaraan yang melaju di bawah kecepatanku.

Sampai.

Wajah lega itu menyambutku di tempat parkir, aku baru berencana untuk menjahilinya namun kuurungkan, kasihan, pasti dia setengah mati menunggu hadirku.

“Ngebut yah?” tanyanya melirik jam tangan.

Aku menggeleng.

“Bohong, buktinya cepat banget sampe sininya.”

“Kalau udah tahu kenyataannya kenapa pake tanya?”

“Memastikan.”

“Nih,” Aku mengangsurkan flashdisk yang segera disambutnya dengan suka cita.

“Ahh, kamu De, emang yang terbaik.”

“Upah?” ujarku menjulurkan telapak tangan.

“Upahnya nanti yah, aku penuhi satu keinginanmu.”

“Keinginanku banyak, yang mana?”

“Ada lah.. tunggu aku mewujudkannya dan kamu hanya bisa tersenyum tanpa berkata-kata.”

“Dih gombal, buru masuk sana.”

Dia pamit, aku tak melepaskan pandangan sedetikpun hingga punggung itu menghilang masuk ke dalam ruangan. Entah apa yang dia maksud dengan mewujudkan keinginanku tapi di tempat ini aku memiliki sendiri keinginanku tentangnya. Di dua puluh tujuh kilometer dari rumah, aku ingin melihatnya segera menuntaskan kuliah, memandang sendiri senyum itu dalam balutan toga lalu memberinya sesuatu yang mungkin akan tenggelam dari banyak barang pemberian orang-orang tersayang disekelilingnya.

Kamu... semangat yah.

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

4 komentar

Posting Komentar