Kepingan Rasa Puzzle 28

2 komentar
Puzzle sebelumnya  di sini


"Sepi ya kalau nggak ada Gilang di kelas."

Romeo berbicara lirih, seolah memang hanya ditujukan kepada teman yang duduk di sekitarnya, siapa lagi kalau bukan aku dan Agni.

Agni diam, perduli amat sama tukang rusuh satu itu. Dia kembali berkutat dengan proposal di depannya. Anggaran dana untuk proker panjat tebing sedikit membengkak, pasti pihak sekolah urung meloloskannya.

"Kenapa ya Gilang harus di skorsing?"

Romeo menatapku berbinar, sebenarnya aku bukan mengkhawatirkan Gilang tapi lama-lama risih juga melihat Romeo yang seperti kehilangan separuh jiwanya itu.

"Lah, bukan kamu yang lapor ke guru?"

Aku menggeleng, "Romeo, aku mau ngomong serius boleh?"

Demi mendengar aku mengatakan itu Agni menghentikan segala aktivitasnya, kepalanya ikut memutar, kami bertiga seperti membentuk lingkaran.

"Jangan Cili, aku masih sekolah, minimal tunggu aku lulus yah kalau mau serius."

Aku tak mengubah mimik wajah, membuat Romeo menyadari bahwa aku sedang tak ingin main-main. Agni hampir menimpuk kepala Romeo dengan buku paket setebal dua ratus halaman, tapi urung. Bukan apa-apa, takut Romeo pingsan sehingga aku tak jadi bicara.

"Iya maaf, ada apa?" sambung Romeo.

"Aku nggak mau denger kamu nyebut nama Gilang di dekat aku. Kalau perlu kamu pindah tempat duduk, jauh-jauh dari aku."

Romeo ternganga, bukan, Agni juga sedetik kulihat ia tak berkedip.

"Cili, sebenarnya Gilang itu...."

Aku mengangkat tangan, menghentikan kalimat Romeo. Menghadap ke depan lalu membuka kembali catatan matematika.

***

Jarak sekolah dengan rumahku sekitar tiga kilometer, meski angkutan mondar-mandir melewatiku tapi kuputuskan untuk jalan kaki. Suasana hatiku sungguh tak menentu, mungkin saja melihat pohon-pohon hijau tinggi menjulang mampu memperbaikinya.

Pohon-pohon besar berjajar di sepanjang jalan raya, melindungi pejalan kaki dari teriknya matahari siang. Perasaanku tak enak bahkan saat baru saja keluar dari gerbang sekolah, seperti ada seseorang yang mengikutiku dari belakang.

Aku menengok ke belakang, kendaraan roda dua mendominasi dengan pengendara yang memakai seragam putih abu-abu, oh itu jelas teman sekolah. Kembali aku mengayunkan langkah, namun perasaan ini kembali memaksaku untuk menengok.

Tak ada yang aneh, semua terlihat normal, ramai sebagaimana jam bubar sekolah.

Satu kilometer pertama aku lalui dengan menepis semua anggapan. Memasuki kilometer kedua hatiku tak tenang, semakin was-was.

Kali ini aku yakin bahwa sedang diikuti, maka kupasang strategi. Membalik badan dengan tiba-tiba, dan...

"Angga?"

Teman sekolahku itu tengah berjongkok di depan pohon, membenarkan tali sepatunya yang lepas. Merasa namanya dipanggil, ia mendongak dan tersenyum, "Hey, Ci."

Keningku berkerut, Angga berlari kecil menghampiriku, "Kenapa? kayak abis ngelihat hantu."

"Emang iya, kamu ngikutin aku?"

"Dih, GeeR."

"Terus?"

"Ini jalanan umum atuh neng."

"Tapi sejak tadi aku nggak lihat kamu ada di belakang aku loh."

"Oh, aku abis dari rumah temen, tuh rumahnya nggak jauh dari sini."

"Beneran?"

"Kamu kenapa sih Ci?"

Aku ragu, tapi Angga baik jadi aku ceritakan keresahanku.

"Aku ngrasa diikutin orang sejak keluar dari sekolah tadi."

"Masak iya? Lagian kenapa pulang sendiri, nggak naik angkutan?"

Aku menggeleng lemah, "Lagi pengen jalan aja."

"Aku temenin sampai rumah ya?"

"Eh nggak usah, rumahku masih dua puluh kilometer lagi."

Angga menyipitkan matanya, mendekatkan wajahnya ke wajahku yang membuatku reflek membuang muka.

"Bohong."

Aku tertawa.

Begitulah, siang ini Angga menjadi orang pertama di sekolah yang tahu rumahku. Perasaan was-was hilang seketika. Hembusan angin semilir menemani langkah kami yang sibuk bertukar cerita. Satu dua teman sekolah yang lewat menyapa Angga, lalu ia akan memberikan sedikit informasi tentang siapa tadi.

"Masuk dulu?" tawarku.

Angga menggeleng, "Lain waktu yah?"

Aku mengangguk, "Makasih ya."

"Kalau aku anter setiap hari, mau?"

Pipiku merona, khayalku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi.

Angga pamit.

Hariku sempurna, senangnya sehari tanpa Gilang. Andai bisa selamanya.
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

2 komentar

Posting Komentar