Rahman lega bahwa istrinya baik-baik saja, ia berniat untuk kembali ke kamar saat tubuh istrinya rubuh, tak sadarkan diri. Cemas melingkupi, berharap seseorang di seberang menjawab panggilannya, segera. Selengkapnya di sini .
***
Dokter Arman tergopoh menuruni mobilnya, di tangan kirinya tergenggam tas kotak hitam berukuran sedang. Ia membuka pintu rumah Rahman dengan tangan lainnya.
"Dimana kakakku sekarang?"
Dokter Arman adalah adik dari istri Rahman, ia yang sebenarnya sedang rapat segera datang demi mendengar kakaknya tergolek setelah meminum obat yang seharusnya untuk Rahman.
"Di belakang, ruang setrika," jawab Rahman lemah, ia sama kalutnya dengan Dokter Arman.
Hanya hitungan detik, saat Dokter Arman membuka tas kotak hitamnya, mengeluarkan stetoskop dan memeriksa detak jantung kakaknya yang masih terpejam.
"Aku bawa kakakku ke rumahku," ujarnya tegas setelah mengetahui detak jantung kakaknya bergedup kencang tak beraturan.
"Tidak.. tidak akan kuijinkan," tolak Rahman.
"Aku akan membawanya, dengan atau tanpa persetujuanmu," Dokter Arman bersiap menggendong tubuh kakaknya yang tak berdaya.
"Dia istriku, ini rumahnya," cegah Arman.
Wajah Dokter Arman berubah sinis, matanya tajam menusuk ke arah kakak iparnya tersebut. Rahman tahu, ia telah gagal menjaga kakaknya wajar saja jika adik iparnya itu khawatir terhadap kondisi kakaknya.
"Maafkan aku, tapi ijinkan aku untuk merawatnya," lirih Rahman memohon.
"Kau sendiri masih sakit, bagaimana mungkin?," ledek Dokter Arman.
"Jika kau membawa dia pergi maka sakitku lengkap sudah, hanya menunggu waktu hingga aku membusuk dan mengering."
Dokter Arman menggendong kakaknya, melewati Rahman yang menunduk di samping lemari, pasrah.
"Hei, kau tak mau membukakan pintu kamar?"
Intonasi Dokter Arman menunjukkan segalanya, ia tidak akan membawa pergi istrinya. Ia masih mempercayainya untuk merawat kakaknya. Tubuh Rahman bergetar, tak ia pedulikan. Asal istrinya ada di sampingnya maka itulah obat sesungguhnya untuk dirinya.
Sekarang tertatih ia menuju kamar, membersihkan ranjang dari selimut berserakan, mempersilahkan Dokter Arman melakukan pengecekan ulang terhadap denyut nadi, detak jantung, sorot mata, warna lidah dan lainnya.
"Bagaimana?"
Dokter Arman menggeleng, "Tidak begitu baik."
"Kumohon lakukan apa saja untuk membuatnya sadar," suara Rahman bergetar panik.
"Berhentilah memohon, aku lebih ingin kakakku sadar dibanding siapa pun. Lagipula, bukankah kau tidak percaya pada tenaga medis?"
Pertanyaan Dokter Arman membuat Rahman bungkam, istriku tidak sadar karena meminum obat, itu berarti dia hanya bisa disadarkan oleh pembuat obat itu. Ya, siapa lagi kalau bukan tenaga medis. Ini tidak seharusnya terjadi jika tak ada obat-obatan di rumah, kan?
"Aku akan tinggal di sini," lanjut Dokter Arman.
"Silahkan, anggap rumahmu sendiri. Akan aku ambilkan minum."
"Tidak perlu, aku bisa mengambilnya sendiri."
Dokter Arman menyelimuti tubuh kakaknya, menunggu dengan tenang di pinggir ranjang. Arman berdiri lemah bersandar pintu, ingin sekali ia mengenggam tangan lemah istrinya, menunggu berapapun lama istrinya akan sadar, namun ia tahu adik iparnya sedang dalam keadaan tak percaya padanya.
Bangunlah, setelah ini aku akan meminum obatku.
Bersambung...
Salut sama mba ciani cantik.. bs buat cerpen keren..^^
BalasHapusKeren, ditunggu lanjutannya
BalasHapus