Biar Kuminum Obatmu

5 komentar
"Ayolah sayang, obat ini akan meredakan demammu."

"Berhenti memaksaku, kenapa mudah bagimu untuk menyuruhku menelan pil pahit tersebut?"

Riena melepaskan nafasnya perlahan, mempertahankan senyum di wajahnya. Menghadapi suami yang sedang sakit adalah suatu hal besar yang hampir saja ia menyerah. Rahman adalah lelaki yang jarang sakit, jikalau ia sakit maka tidur malam dan segelas jahe hangat akan menyembuhkannya keesokan hari. Tak pernah sekalipun kakinya memasuki puskesmas, klinik bahkan rumah sakit. Dokter dengan segala resepnya hanya bualan.

Kali ini berbeda, dua minggu ia terbaring lemah di kasur. Satu minggu awal Riena merawatnya dengan rutin mengompres kening, jadwal makan yang tepat waktu bahkan istirahat cukup, tidak ada secuil obatpun yang masuk. Suaminya akan menolak, besok juga sembuh, selalu begitu.

Oh tidak, Rahman adalah tipe lelaki workaholic sedikit saja ia merasa badannya ringan maka gulungan kertas akan tergelar di atas meja. Jangkar, pensil juga penghapus menemaninya melewatkan detik-detik waktu hingga jam makan tiba. Ini tidak berlangsung lama, maksimal dua jam sakit kepala akan mendera dan ia harus kembali terpejam di atas ranjang.

"Bukankah akan terasa sia-sia kedatangan Dokter Arman ke sini?"

"Kau yang menyuruhnya, aku sudah bilang tidak perlu."

"Baiklah, biar kuminum obatmu."

Rahman mencibir pernyataan istrinya, gertakan semacam itu tidak akan mempan.

Semua berlalu begitu cepat, dua pil yang berada dalam genggaman istrinya segera ditelan dengan satu tegukan air putih. Mata Rahman mengerjap, tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia masih mencerna kejadian itu saat istrinya bangkit meninggalkan kamar. Jelas terekam dalam ingatan ada genangan air di mata wanita yang begitu dicintainya itu.

Susah payah ia beranjak dari tempat tidur, kepalanya masih terasa pening, tertatih ia menyusuri setiap ruangan rumahnya untuk mencari keberadaan istrinya. Rasa khawatir menjalari setiap sendi menjadikan tubuhnya kaku dan sulit untuk digerakkan namun hatinya seolah ingin lari untuk memastikan keadaan istrinya.

Ruang tamu kosong, depan tivi tidak ada, dapur nihil. Dimana? Rahman memanggil nama istrinya, tak ada sahutan. Cemas memenuhi otaknya. Bodoh. Bagaimana bisa ia meragukan setiap kata yang keluar dari bibir istrinya?

Kini penyesalan menyesakkan dadanya, ia tersungkur dengan menarik kuat rambut di kepalanya, terisak lalu tersadar ada tempat dimana ia yakin istrinya berada.

Semoga belum terlambat...



Penasaran ga? besok baca lanjutannya yah... tungguin aja..


 
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

5 komentar

Posting Komentar