Terkuras sudah energiku untuk sekadar mengetahui bahwa ayah datang dan mendapatiku tidak di tempat semestinya. Beliau menegur Gilang, Sang Ketua Kelas yang harus bertanggung jawab atas ini semua, aku benci dia, benci sekali.
Tubuh lemahku kini di atas ranjang UKS, Anita, anggota PMR yang bertugas hari ini sedikit memaksaku untuk meminum teh panas. Wajahku menunduk, mana berani memandang ayah yang pasti malu atas ulahku. Gilang, aku benci kamu. Bagaimana bisa seseorang seperti dia terpilih menjadi ketua kelas? ahh, aku masih tak habis pikir.
"Mau dibuka jilbabnya?"
Aku menggeleng cepat, peluh yang membanjiri wajahku belum menjadi alasan kuat untuk melakukan hal itu. Terlebih di ruangan ini masih ada ketua kelas menyebalkan itu. Mau apa di sini? Kumohon siapa pun, usir dia.
Ayah mendekatiku, memegang dahiku, "Masih ada yang sakit?"
Ingin rasanya menangis, ini hari kedua dan aku sudah mempermalukan ayah.
"Boleh aku ijin pulang, Yah?"
"Istirahatlah dulu di sini, nanti Ayah akan kembali."
Ayah berjalan keluar UKS bersamaan dengan bunyi bel tanda masuk kelas, Anita menyelesaikan tugasnya menyelimutiku juga mendekatkan teh manis di atas meja kecil sebelah ranjang.
"Akan ada guru piket di ruang sebelah, kamu bisa memanggil beliau jika membutuhkan bantuan."
"Terima kasih," balasku dengan senyum lemah.
Anita pun berlalu menuju kelasnya, tak ingin terlambat mengikuti pelajaran pertama.
Gilang mendekatiku, berdiri di samping ranjang. Kutarik selimut dan terpejam menghadap tembok.
Satu menit... dua menit... lima menit... Hei, apa dia tidak berniat untuk masuk kelas? Sungguh tidak patut untuk di tiru. Kembali aku menanyakan kesadaran teman-teman yang telah memilihnya menjadi ketua kelas.
Entah menit keberapa akhirnya dia meninggalkanku setelah lirih berujar, "Cili, cepat sembuh ya. Maafkan aku."
Tak ayal aku tertegun sejenak, bisa juga yah dia minta maaf. Akan kumaafkan jika ini bisa menyelesaikan semuanya.
Hening ruang UKS menerbangkan pikiranku menangkap kemungkinan-kemungkinan setelah ini. Ayah, maafkan aku.
Sepuluh menit sebelum jam pertama usai aku telah berbenah, merapikan seragam dan bersiap untuk masuk kelas. Aku tidak mau tertinggal banyak jadi kupaksakan diri untuk hadir di kelas.
Semua mata memandang saat aku mengetuk pintu kelas, Bu Erlin guru fisika mempersilahkan untuk masuk. Ekor mataku menangkap tatapan Gilang yang sepertinya khawatir, sudahlah, jangan perdulikan dia.
"Kamu nggak bilang kalau alergi pedas?"
Aku akui kebodohanku yang mudah sekali terperdaya muslihat Gilang, "Agni, aku fikir semua murid baru harus taat untuk misi rahasia ini."
"Misi rahasia?"
"Iya, Gilang bilang ini misi rahasia."
Agni menepuk pelan dahinya, "Jangan pernah percaya dia lagi, tak pernah ada misi rahasia semacam itu."
"Tunggu, jadi menurutmu aku dibohongi?"
Bu Erlin melirik kami yang sejak tadi kasak-kusuk sendiri. Setelah beliau kembali menerangkan rumus vektor di whiteboard, Agni menjawab pertanyaanku, "Benar sekali. Anak itu kurang waras."
"Emm.. tapi kenapa kalian memilihnya menjadi ketua kelas?"
"Apa yang kaubilang? Muklis ketua kelas kita bukan Gilang. Ayolah Ci, masak orang nggak jelas kayak gitu kita pilih jadi ketua kelas, sih."
Sempurna sudah, aku merutuki berulang kesalahan fatal mengenal orang asing seperti dia. Ahh, bagaimana bisa.
Kelas Bu Erlin usai, Pak Tono menggantikan beliau untuk mengenalkan kami tentang nama-nama latin virus. Kelas berjalan sedikit gaduh sebab kami diharuskan menirukan ucapan beliau menyebutkan istilah ilmiah tersebut yang sudah jelas tak lazim di ucapkan.
Paramyxovirus, Vacciniavirus, Orthomyxovirus...
Sembilan puluh menit waktu beliau harus terpotong lima belas menit istirahat, semua penghuni kelas berlomba untuk tercepat meninggalkan ruangan.
"Beneran nggak mau jajan?" tawar Agni
"Aku mau istirahat aja yah di dalam kelas," tolakku ramah saat ia mengajakku ke kantin.
Gilang menjadi satu-satunya murid di kelas ini selain aku, dia beranjak dari kursinya mendekatiku. Tak lama Bayu teriak dari ambang pintu.
"Gilang, Cili... Kalian disuruh ke kantor guru, sekarang."
Dih jangan benci dong
BalasHapus