Into the Wild

4 komentar


"Itu apa?"

"A Magic Bus."

"Sedang apa?"

"Kemarilah, akan aku tunjukkan."

Malam itu saat semua telah terlelap, Ben, sepupuku mengetuk pintu kamar untuk mengajak ke ruang keluarga dan menyaksikan film ini. Ia berusia lima tahun lebih tua dariku dan aku tak pernah menolak setiap ia menunjukkan hal apa pun.

Ada sesuatu saat film dimulai dan tulisan-tulisan bermunculan, "Meninggalkan peradaban?"

"Ssssstttt....."

Ketenangan hanya berjalan sesaat hingga lelah menurut untuk diam saja saat seorang lelaki menyerahkan sepatu boot dan berujar, "Jika kau kembali dengan selamat, hubungi aku."

"Berhenti."

Ben terlonjak dari duduknya, menoleh dan meminta penjelasan atas sikapku.

"Aku takut, Ben."

Bukan tanpa alasan aku mengatakan itu, Ben bukanlah seperti kebanyakan orang. Ia akan dengan mudah mencari pelampiasan dari emosi tertahan selama ini, mungkin banyak yang tidak melihatnya tapi sungguh aku tahu dengan pasti apa yang terjadi dengan dirinya.

Ben tersenyum, "Lihat dulu hingga akhir, ya?"

Film berlanjut dan aku diam memegang janji untuk tidak bersuara, sesekali berekspresi sebagai respon bahwa aku menghayati film ini. Bergidik saat ulat bulu melenggang di Pasific Crest Trail, Northern, California. Ikut menggigil saat malam menjelang di depan api unggun dan merasakan debur ombak pagi hari.

"Ben, jadi kau ingin disebut apa? Leather Tramp atau Rubber Tramp?"

"Rubber Tramp saja ya? sebab kau pasti tak kuat jika harus bertualang dengan berjalan kaki."

"Sungguh kau akan mengajakku?"

Ben mengangguk, ia sepupu terbaik di dunia.

Film berakhir dan ketakutanku memenuhi udara malam yang dingin juga sunyi.

"Ben, kumohon jangan bertindak bodoh."

Kesamaan konflik yang terjadi antara aktor dan Ben menjawab segala pertanyaan di awal.

"Kau sungguh akan kehilangan aku?"

"Jika kau berani melangkahkan kaki untuk menyatu dengan alam sendirian, maka kuanggap itu sebagai hukuman dari Allah untukku."

"Kau berlebihan."

"Kumohon jangan."

"Baiklah aku berjanji."

Tak lama Ben pulang ke rumahnya yang hanya berjarak 500 meter, kini kupastikan tak mampu terlelap hingga pagi.

Ben, jangan membahayakan dirimu. Sekuat, setangguh bahkan seyakin apa pun dirimu, alam tak pernah bisa tepat untuk diprediksi oleh manusia.






----++++--------

Pesan yang sama kusampaikan untuk dirimu kawan, seseorang yang memohon  untuk menonton film ini. Aku tak pernah mengijinkan, apapun alasannya.


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

4 komentar

  1. Iyuhh....serem keknya.

    Aku suka paranoid sendiribkl nonton film atau baca buku serem.
    Tapi kalau dilapangan dibilang suka nekat x_x

    BalasHapus
  2. Aku suka paranoid sendiri kl liat film atau baca buku serem.
    Tapi kl di lapangan sering dibilang suka nekat -_-

    BalasHapus

Posting Komentar