Mario
menggebrak meja kelas, matanya melotot fokus pada satu arah, lantai
keramik putih dengan pasir yang berserak di atasnya. Tapi tidak hati
serta pikirannya.
“Apa sih
yang dipikirkan anak dari Planet lain itu?”
Morca ikut
tersulut emosi melihat temannya tak mampu menahan diri, “Keterlaluan
memang”
“Sekarang
mau bagaimana?,” rupanya Miko lebih tenang menghadapi suasana yang
sedang memanas ini.
“Kita
seret anak itu,” usulan keras dari Mario
“Percuma,
tak ada yang tahu keberadaannya,” Morca tak bersemangat mengetahui
rencana mereka gagal di awal.
“Mungkin
di sana, ikut aku”
Kedua
laki-laki tersebut berjalan di belakang Miko yang tergesa melewati
lorong sekolah, melompati pagar besi setinggi satu meter, melintasi
kebun biologi kemudian memasuki hutan kecil yang berada di belakang
sekolah mereka.
“Sudah
kubilang sedari awal anak itu aneh, mau apa ia masuk ke dalam hutan?”
“Aku juga
menganggapnya seperti itu, tenang saja sebentar lagi kita akan
mengetahuinya”
“Hei
Miko, kau tidak akan membawa kami lebih dalam lagi kan?”
“Miko
menoleh kearah teman-temannya, “Entahlah, tergantung kemana anak
itu bersembunyi”
Sisa-sisa
sinar mentari menembus lebatnya pepohonan yang menjadi kanopi hutan,
semakin jauh masuk semakin hutan terasa lembab juga gelap. Ada rasa
gelisah dari masing-masing mereka namun rasa penasaran untuk
menemukan apa yang mereka cari mengalahkan semuanya.
Tak ada
yang tahu dimana ujung hutan ini, mereka tidak pernah diijinkan untuk
menjelajah ke dalam hutan tanpa pengawasan orang dewasa.
“Miko,
mungkin saja ia tidak ada di sini”
“Aku
yakin ada”
Kedua
temannya bersungut mengikuti langkah kaki Miko yang setengah berlari.
Tiba-tiba temannya itu berhenti mendadak dan menyembunyikan tubuh
jangkungnya di balik pohon beringin tua yang berdiameter lebih dari
pelukan kedua tangannya.
“Ada
apa?”
“Ssssstttt,
pelankan suaramu”
Mario dan
Morca mengikuti perintah Miko, perlahan mereka mengintip dari balik
pohon, diantara semak-semak belukar duduklah seseorang yang mereka
cari, tubuhnya bersandar pada pohon beringin lain dan kepalanya
terkulai.
“Apa yang
ia lakukan?”
“Mari
kita cari tahu”
Dengan
hati-hati ketiganya mendekati sosok tersebut dan terheran
mendapatinya sedang terpejam dengan kedua tangan memegangi perutnya.
“Apa ia
terluka?”
“Pingsan?”
Tak ada
jawaban dari setiap pertanyaan yang terlontar.
“Mati?”
“Kurasa
tidak, lihat dadanya masih naik turun”
Beberapa
saat berlalu dan sosok itu tak juga bangun.
“Apa kita
harus membangunkannya?”
“Bagaimana
jika ia terluka dan harus segera mendapatkan pertolongan?”
“Atau ia
kelaparan?”
“Mustahil,
asrama menyediakan cukup makanan bagi penghuninya”
Semua
percakapan itu berhenti menyadari ada gerakan lemah dari obyek yang
dibicarakan. Perlahan matanya terbuka dan terkejut mendapati ada
orang lain di dekatnya.
“Hei,
kalian sedang apa?”
Ketiganya
tersenyum, kekhawatiran mereka sirna sudah.
“Vay, apa
kamu baik-baik saja?”
Vaya
meringis, meremas perutnya.
“Ahh, kau
tidak baik-baik saja. Mari kembali ke asrama?”
Vaya
menggeleng, “Tinggalkan aku sendiri di sini”
“Tidak
akan, kau harus mengaduk larutan garam. Kita butuh itu untuk maju
ujian pekan depan”
Morca
mendapatkan tatapan tajam dari dua teman laki-lakinya.
“Vay, kau
terlihat pucat, apa kau sakit?”
Gadis itu
mengangguk dengan mata terpejam.
“Ijinkan
kami mengantarmu untuk kembali ke asrama”
Kedua
kalinya gelengan lemah dari Vaya menjadi jawaban untuk semua
pertanyaan.
“Baik
tidurlah, anggap kami tidak ada. Kami akan menjagamu”
Kini
matahari telah sempurna menghilang dari langit, sinar rembulan
menyusup memberikan rasa tenang kepada ketiga laki-laki yang hanya
terdiam mencerna apa yang terjadi pada satu teman gadisnya itu.
Di sekolah
mereka setiap tahunnya mengadakan pertukaran pelajar dengan planet
lain, kini giliran gadis ini yang menjadi siswa terpilih untuk
belajar bersama. Kabar yang beredar bahwa semua makhluk dari planet
dimana gadis ini berasal memang sangat berbeda dan ketiganya baru
menyadari hal itu sekarang.
“Kita
bisa kembali ke asrama sekarang”
“Vaya,
kau sudah bangun?”
Gadis itu
tersenyum dan mengangguk.
“Boleh
kami bertanya ada apa?”
“Ini
adalah keistimewaan sebagai penghuni planet Venus, kalian yang
tinggal di Mars tidak akan mendapatkannya”
“Lalu?”
“Iya,
sebagian dari kami akan merasakan sakit kepala juga perut yang
melilit saat keistimewaan ini datang”
“Apa bisa
itu disebut keiistimewaan?”
“Sudahlah,
jangan berdebat. Siapkan saja alasan pulang terlambat kalian kepada
kepala asrama nanti”
“Kau
sendiri?”
“Sudah
kubilang, keistimewaan ini yang akan menyelamatkanku dari teguran
kepala asrama”
Vaya
memimpin teman-temannya keluar dari hutan, sepertinya ia hapal betul
jalan setapak ini. Ada senyum yang terlukis menyadari bahwa
ketakutannya akan makhluk Mars tidak selamanya benar.
Apakah
semua penghuni di planet ini seperti ketiga temannya? Entahlah.
Bintang mulai bermunculan, menjadi penghias langit malam dan untuk
saat ini tak perlu ada yang dicemaskan.
Lagi datang bulan kali, Vayanya.
BalasHapusWah keren dik ci, fantasy story
BalasHapusahahaha ku gk mudeng. jadi cuma dy yang PMS???
BalasHapus