Bunuh Diri

11 komentar
Jadi Sa, menurutmu apa yang terjadi jika aku terjun dari sini?”

Aku mengangkat bahu, angin siang ini mempermainkan ujung jilbabku yang berkibar. Masih menimbang untuk memberikan jawaban terbaik dari setiap celotehan makhluk turunan adam di depanku ini.

Aku langsung mati tidak ya?”

Jangan,” seruku kalem

Kenapa?”

Jembatan ini hanya setinggi empat meter, jika kau terjun maka tubuhmu hanya akan hanyut terbawa arus sungai yang deras. Kau tidak akan mati seketika”

Ahh, benar. Aku pandai berenang, usaha bunuh diri bisa gagal saat otak berpikir cepat untuk menepi kala air telah memenuhi rongga dada”

Kami melanjutkan perjalanan, lurus saja hingga langkah kakinya berhenti di pinggir jalan raya dengan lalu lintas ramai.

Bagaimana kalau disini?”

Akan sama gagalnya”

Kali ini kau benar lagi, anggap saja mobil dengan kecepatan tinggi melindas tubuhku maka secepat itu pula banyak yang akan menggotongku untuk melarikannya ke rumah sakit mengingat banyak saksi mata disini”

Entah kenapa aku mengiyakan ajakannya untuk bunuh diri, bukan, maksudku mengantarkan ia untuk bunuh diri. Aku sudah bosan mengatakan hal yang sama berulang-ulang, jadi kali ini kuturuti saja apa maunya.

Dia memimpin di depan sedang aku mengikutinya di belakang, tak ada pembicaraan diantara kami. Tak ada yang mau memulai, mungkin masing-masing dari kami tengah sibuk memikirkan hal tak terduga yang akan terjadi di masa depan.

Kau haus? Kita mampir minimarket sebentar”

Tak ada penolakan, kami sudah didalam minimarket kini, di depan cairan-cairan pembunuh serangga.

Bagaimana menurutmu?”

Efeknya terlalu lama, tubuhmu akan kejang-kejang lalu pingsan. Setelah itu terbangun di atas kasur rumah sakit. Kau selamat”

Dua botol air mineral menjadi pilihan terakhir yang kami bawa keluar. Perjalanan dilanjutkan, aku tak tahu mau kemana. Sudah kuduga begitu pula dengannya, otaknya sudah mati, tak mampu berpikir waras, ahh bicara soal waras dia selalu keukeuh dengan pemikiran kolotnya itu.

Kita berhenti sejenak disini, kau terlihat lelah”

Batinku bersorak, segera saja merenggangkan seluruh persendian. Sudah belasan kilometer kami berjalan, rasanya kakiku mau copot. Belum pasti kapan perjalanan ini akan berakhir, pening melanda memikirkan tentang akhir ini semua. Akankah aku kembali seorang diri?

Ada ide?”

Tatapan sinis aku hujamkan pada kedua matanya yang tergambar jelas harapan-harapan tingginya padaku, aku berpaling, muak menyadari hal itu. Benarkan ia ingin bunuh diri? Lalu kenapa banyak pertimbangan untuk itu? Kenapa pula mengajakku ikut serta? Masih inginkah ia untuk mengubah keputusan finalku?

Bahkan disaat terakhirku pun kau tak mau berdamai”

Aku menghirup udara banyak-banyak, menahan gejolak dalam dada. Jika kesabaranku habis bisa saja aku memakinya, membuatnya kembali menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa, tak ada artinya sama sekali bagiku.

Ah aku tahu, mari kita lanjutkan”

Baiklah aku berdiri, mengikuti bisikan setan yang sedang menguasai dirinya. Kali ini ia berjalan agak terburu-buru membuatku harus berlari agar tak jauh tertinggal. Mau kemana ia? Kenapa harus tergesa?

Aku menyadari satu hal ketika sebuah kereta api dengan dua belas gerbong melintas cepat di hadapanku. Seringai menghiasi wajahnya, bulu kudukku berdiri. Inikah saatnya?

Katakan, tidak ada penyangkalan untuk ini bukan?”

Gelap. Aku terpejam, sungguh tak ingin membuka mata. Apa yang harus aku katakan? Mempersilahkannya? Melakukan aksi bunuh diri di depan mataku?

Kemarilah, duduk disampingku. Bersama kita menanti kereta selanjutnya datang. Ah ya, sebelum itu maukah kau mengatakan sesuatu padaku?”

Gelengan lemah menjadi jawaban atas pertanyaannya.

Tersenyumlah, setelah ini kau tak akan terganggu lagi olehku. Hidupmu akan 
aman”

Getaran mulai merambati tanah di bawahku, suara bising terdengar semakin dekat, aku menyerah, menutup mata menikmati gelap dalam duniaku sendiri. Terserah dia mau melakukan apa, aku tak mau melihat.

Angin disekitarku berhembus semakin kencang, menyibakkan jilbabku. Deru suara mesin mendominasi pendengaranku tiba-tiba hatiku ciut saat sebuah tangan dingin menggenggam jemariku. Tidak, aku memberontak. Kumohon jangan ajak aku melakukan hal gila semacam ini.

Sekejap semua berlalu, sekeliling kembali sunyi. Perlahan kuberanikan diri untuk membuka mata. Aku masih ditempat yang sama, dengan dia yang mengenggam tangan kiriku, menoleh kearahku dengan senyum yang tak kumengerti maksudnya.

Tega sekali kau tak ingin mengantarku pergi”

Lidahku kelu, pernyataan macam apa itu? Sungguh bayangan dia akan menarikku untuk berada ditengah rel masih menggelayut.

Kita lanjutkan perjalanan”

Dia melepaskan tanganku, berjalan mendahuluiku, kakiku masih gemetar, bulir-bulir hangat menetes membelas pipi, aku duduk bersimpuh. Menangis tersedu, membekap wajah dengan kedua tangan. Mungkin dia menyadari aku tak mengikutinya, sekarang dia ada di depanku, mendongakkan wajahku, meletakkan kedua tanganku dipangkuan, menghapus air mata yang bercucuran. 

Tak ada kata yang terucap.

Aku menepis tangannya, tak mampu lagi menahan amukan badai di dalam dada.

Apa? Apa yang kau pikirkan? Kau mau mati, hah? Mati saja, tak usah banyak berpikir. Ooh aku paham, bukan kau yang ingin mati, tapi kau ingin membuatku perlahan meregang nyawa, iya? Kenapa? Apa salahku? Salahkah aku yang hanya ingin menjaga satu nama dalam hatiku?”

Tenagaku terkuras, aku terkulai lemas, sesunggukan dalam tangis.

Dia memaksaku berdiri, menuntunku perlahan menjauhi perlintasan rel kereta api. Kali ini apa? Melanjutkan perjalanan lagi?

Aku sungguh tak bisa hidup tanpamu, namun kenyataan bahwa kau tak menyadari hal itu membuatku ingin mati saja. Maafkan aku telah melibatkanmu, ini masalahku dengan hatiku, tak ada sedikitpun hubungannya denganmu. Pulanglah”

Tertatih aku berjalan, memperlebar jarak dengannya. Aku sudah tak peduli lagi, terserah dia mau melakukan apa. Tapi aarrrggghh hatiku tak tega, sial. Tunggu, jika satu kali saja aku menengok kebelakang itu berarti harapan akan kembali tumbuh dalam hatinya, aku tak mau. Lirih setulus hati aku berdoa, Tuhan jaga dia.

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

11 komentar

Posting Komentar