“Jadi
Sa, menurutmu apa yang terjadi jika aku terjun dari sini?”
Aku
mengangkat bahu, angin siang ini mempermainkan ujung jilbabku yang
berkibar. Masih menimbang untuk memberikan jawaban terbaik dari
setiap celotehan makhluk turunan adam di depanku ini.
“Aku
langsung mati tidak ya?”
“Jangan,”
seruku kalem
“Kenapa?”
“Jembatan
ini hanya setinggi empat meter, jika kau terjun maka tubuhmu hanya
akan hanyut terbawa arus sungai yang deras. Kau tidak akan mati
seketika”
“Ahh,
benar. Aku pandai berenang, usaha bunuh diri bisa gagal saat otak
berpikir cepat untuk menepi kala air telah memenuhi rongga dada”
Kami
melanjutkan perjalanan, lurus saja hingga langkah kakinya berhenti di
pinggir jalan raya dengan lalu lintas ramai.
“Bagaimana
kalau disini?”
“Akan
sama gagalnya”
“Kali
ini kau benar lagi, anggap saja mobil dengan kecepatan tinggi melindas
tubuhku maka secepat itu pula banyak yang akan menggotongku
untuk melarikannya ke rumah sakit mengingat banyak saksi mata disini”
Entah
kenapa aku mengiyakan ajakannya untuk bunuh diri, bukan, maksudku
mengantarkan ia untuk bunuh diri. Aku sudah bosan mengatakan hal yang
sama berulang-ulang, jadi kali ini kuturuti saja apa maunya.
Dia
memimpin di depan sedang aku mengikutinya di belakang, tak ada
pembicaraan diantara kami. Tak ada yang mau memulai, mungkin
masing-masing dari kami tengah sibuk memikirkan hal tak terduga yang
akan terjadi di masa depan.
“Kau
haus? Kita mampir minimarket sebentar”
Tak
ada penolakan, kami sudah didalam minimarket kini, di depan
cairan-cairan pembunuh serangga.
“Bagaimana
menurutmu?”
“Efeknya
terlalu lama, tubuhmu akan kejang-kejang lalu pingsan. Setelah itu terbangun di atas kasur rumah sakit. Kau selamat”
Dua
botol air mineral menjadi pilihan terakhir yang kami bawa keluar.
Perjalanan dilanjutkan, aku tak tahu mau kemana. Sudah kuduga begitu
pula dengannya, otaknya sudah mati, tak mampu berpikir waras, ahh
bicara soal waras dia selalu keukeuh
dengan pemikiran kolotnya itu.
“Kita
berhenti sejenak disini, kau terlihat lelah”
Batinku
bersorak, segera saja merenggangkan seluruh persendian. Sudah belasan
kilometer kami berjalan, rasanya kakiku mau copot. Belum pasti kapan
perjalanan ini akan berakhir, pening melanda memikirkan tentang
akhir ini semua. Akankah aku kembali seorang diri?
“Ada
ide?”
Tatapan
sinis aku hujamkan pada kedua matanya yang tergambar jelas
harapan-harapan tingginya padaku, aku berpaling, muak menyadari hal
itu. Benarkan ia ingin bunuh
diri? Lalu kenapa banyak pertimbangan untuk itu? Kenapa pula
mengajakku ikut serta? Masih inginkah ia untuk mengubah keputusan
finalku?
“Bahkan
disaat terakhirku pun kau tak mau berdamai”
Aku
menghirup udara banyak-banyak, menahan gejolak dalam dada. Jika
kesabaranku habis bisa saja aku memakinya, membuatnya kembali
menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa, tak ada artinya sama sekali
bagiku.
“Ah
aku tahu, mari kita lanjutkan”
Baiklah
aku berdiri, mengikuti bisikan setan yang sedang menguasai dirinya.
Kali ini ia berjalan agak terburu-buru membuatku harus berlari agar
tak jauh tertinggal. Mau kemana ia? Kenapa harus tergesa?
Aku
menyadari satu hal ketika sebuah kereta api dengan dua belas gerbong
melintas cepat di hadapanku. Seringai menghiasi wajahnya, bulu
kudukku berdiri. Inikah saatnya?
“Katakan,
tidak ada penyangkalan untuk ini bukan?”
Gelap.
Aku terpejam, sungguh tak ingin membuka mata. Apa yang harus aku
katakan? Mempersilahkannya? Melakukan aksi bunuh diri di depan
mataku?
“Kemarilah,
duduk disampingku. Bersama kita menanti kereta selanjutnya datang. Ah
ya, sebelum itu maukah kau mengatakan sesuatu padaku?”
Gelengan
lemah menjadi jawaban atas pertanyaannya.
“Tersenyumlah,
setelah ini kau tak akan terganggu lagi olehku. Hidupmu akan
aman”
Getaran
mulai merambati tanah di bawahku, suara bising terdengar semakin
dekat, aku menyerah, menutup
mata menikmati gelap dalam duniaku sendiri. Terserah dia mau
melakukan apa, aku tak mau melihat.
Angin
disekitarku berhembus semakin kencang, menyibakkan jilbabku. Deru
suara mesin mendominasi pendengaranku tiba-tiba hatiku ciut saat
sebuah tangan dingin menggenggam jemariku. Tidak, aku memberontak.
Kumohon jangan ajak aku melakukan hal gila semacam ini.
Sekejap
semua berlalu, sekeliling kembali sunyi. Perlahan kuberanikan diri
untuk membuka mata. Aku masih ditempat yang sama, dengan dia yang
mengenggam tangan kiriku, menoleh kearahku dengan senyum yang tak
kumengerti maksudnya.
“Tega
sekali kau tak ingin mengantarku pergi”
Lidahku
kelu, pernyataan macam apa itu? Sungguh bayangan dia akan menarikku
untuk berada ditengah rel masih menggelayut.
“Kita
lanjutkan perjalanan”
Dia
melepaskan tanganku, berjalan mendahuluiku, kakiku masih gemetar,
bulir-bulir hangat menetes membelas pipi, aku duduk bersimpuh.
Menangis tersedu, membekap wajah dengan kedua tangan. Mungkin dia
menyadari aku tak mengikutinya, sekarang dia ada di depanku,
mendongakkan wajahku, meletakkan kedua tanganku dipangkuan, menghapus
air mata yang bercucuran.
Tak ada kata yang terucap.
Aku
menepis tangannya, tak mampu lagi menahan amukan badai di dalam dada.
“Apa?
Apa yang kau pikirkan? Kau mau mati, hah? Mati saja, tak usah banyak
berpikir. Ooh aku paham, bukan kau yang ingin mati, tapi kau ingin
membuatku perlahan meregang nyawa, iya? Kenapa? Apa salahku? Salahkah
aku yang hanya ingin menjaga satu nama dalam hatiku?”
Tenagaku
terkuras, aku terkulai lemas, sesunggukan dalam tangis.
Dia
memaksaku berdiri, menuntunku perlahan menjauhi perlintasan rel
kereta api. Kali ini apa? Melanjutkan perjalanan lagi?
“Aku
sungguh tak bisa hidup tanpamu, namun kenyataan bahwa kau tak
menyadari hal itu membuatku ingin mati saja. Maafkan aku telah
melibatkanmu, ini masalahku dengan hatiku, tak ada sedikitpun
hubungannya denganmu. Pulanglah”
Tertatih
aku berjalan, memperlebar jarak dengannya. Aku sudah tak peduli
lagi, terserah dia mau melakukan apa. Tapi aarrrggghh hatiku tak
tega, sial. Tunggu, jika satu kali saja aku menengok kebelakang itu
berarti harapan akan kembali tumbuh dalam hatinya, aku tak mau. Lirih
setulus hati aku berdoa, Tuhan jaga dia.
Tema hari ini kematian kah?
BalasHapusMba cian ngeri ih..
BalasHapusYg mau bunuh diri cowok apa cewek, ya?
BalasHapuscowok mbak na...
BalasHapusaku.sediih bacanya de cili
ah, endingnya jadi mati gak nih?
BalasHapusah, endingnya jadi mati gak nih?
BalasHapusKenapa ka ci suka gantungin? Ahaha
BalasHapusNgeri banget nganter yang bunuh diri
BalasHapusishh takut di gentayangin entar ahahaha
BalasHapusJadi mati ngga sih..ih..:p
BalasHapusJadi mati ngga sih..ih..:p
BalasHapus