“Kubelikan
satu untukmu”
Tanganku
gemetar menerima makanan khas lereng lawu yang mendominasi hampir di
kiri dan kanan jalan utama. Makanan itu masih mengepul, terbungkus
plastik bening dengan kuah berwarna merah tua, campuran sedikit saos
pedas dan banyak kecap kental hitam manis.
“Sudah
sebesar ini masih nggak doyan pedes?”
Tak
apa ia mengejekku, bahkan rela jika ia terus mengulanginya, sungguh
garis lengkung yang tercipta pada wajah dengan rahang kuat itu mampu
kutukar dengan apa pun untuk
sekadar melihatnya meski sekejap.
Kaos
tangan yang masih melekat menyerap panas, perlahan aku menyesap kuah
bakso yang hangatnya menjalari kerongkongan dengan segera. Belakangan
banyak pedagang yang menyediakan mangkok untuk menyantap makanan ini,
namun kami lebih suka menikmatinya dengan cara lama. Jika disajikan
dengan mangkok maka tampilannya akan sama dengan bakso yang tersebar
di berbagai sudut kota solo, ada bihun, sawi dan pelengkap lainnya.
Sangat berbeda jika dibungkus plastik, hanya kuah dan bakso bulat.
“Tunggu
disini aku belikan teh hangat sebentar”
Aku
mengangguk. Segelas teh
hangat bersanding dengan bakso kuah, terkesan luar biasa ketika kau
menikmatinya diantara kabut pegunungan yang mulai mengepung.
Tapi
bagaimana bisa? Kenapa makanan yang terbuat dari tepung kanji dan
juga daging giling membuat candu?
Mungkin
karena kamu, iya kamu dan senyummu yang menyingkirkan segala rasa
kelabu.
Ia
datang dengan segelas teh hangat, kenapa hanya satu?
“Kita
bagi dua ya?”
Aku
menelengkan kepala,
mencoba menggali maksud dari pertanyaannya barusan.
“Gelasnya
habis, akhir pekan banyak pendaki yang memenuhi warung makan”
Ok
terjawab sudah.
Hingga
semburat jingga menghilang sempurna kami masih disini, di batas
antara kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dan Magetan Jawa Timur,
berharap mentari seharusnya lebih lama untuk menyinari setidaknya
untuk hari ini.
“Mau
coba sate kelinci?”
Kepalaku
menggeleng, masih tak tega hewan selucu itu harus ditusuk dan dibakar
diatas bara api.
Waktu cepat berlalu hingga malam gelap sempurna.
“Saatnya
kita berpisah”
Gigiku
menggigit bibir bagian bawah, sekuat tenaga menehan genangan air di
pelupuk mata.
“Besok
kita akan bertemu lagi bukan? Di sini, di tempat yang sama setiap
harinya?”
Aku
mengangguk berulang kali, meyakinkan ia bahwa hal itu pasti akan
terjadi.
Kami
berpisah, ia
mengayuh sepeda angin menuruni jalanan terjal, berbelok
pada tikungan pertama dan menghilang. Sempurna sudah punggungnya
menjadi pemandangan terakhir sebelum kakiku melangkah memasuki
Kabupaten Magetan.
Semoga
esok ada kesempatan bagiku untuk kembali bertemu dengan lelaki itu,
lelaki yang mau menghabiskan setiap senjanya bersama gadis bisu
penjual jamu.
Eits ternyata gadisnya bisu? Pantesan gak ngomong apapa
BalasHapuskeren
BalasHapusbakso, makanan favoritku
Suka bakso juga
BalasHapusBaik banget mau nemenin gadis bisu. ..
BalasHapusSaya setuju... hewan lucu tersebut tidak layak buat di tusuk2 apa lagi di bakar.. bagusnya di elus2 ^_^ *etapisayatetepmakan
BalasHapusHei, kaka.
BalasHapusItu mau pergi kemana?