Wanitaku yang Malang...

10 komentar
“Warna kerudungmu terlalu mencolok, ganti”

Wanita dihadapanku melepas jilbab segi empat yang telah rapi ia kenakan untuk menutupi rambut indahnya. Mendekatiku perlahan yang sejak tadi mengomentari setiap penampilannya dari ujung ranjang.

“Mas, aku mulai meragukan undangan yang engkau ceritakan”

Keningku berkerut, mana boleh seorang istri mengatakan hal tersebut kepada suaminya. Itu sama saja ia menaruh curiga pada lelaki yang memiliki tanggung jawab penuh atas hidupnya.

“Coba lihat Dik, warna abu-abu akan membuat wajahmu terlihat lebih cerah, mengundang banyak pasang mata untuk mengaguminya.”

“Oooo... jadi itu masalahnya, kenapa tak bilang dari tadi sayang”

“Paham Dik sama maksudku?”

“Lebih baik sedari awal kang mas bilang kalau njenengan cemburu jika ada yang melirik istrimu ini”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kenapa malu rasanya untuk mengucap cemburu pada wanita yang baru tiga bulan ini menjadi pendamping hidupku.

“Maafkan aku Dik,” ucapku sembari menunduk. Ada rasa bersalah saat mengingat tingkah konyolku. Menyuruhnya mandi ba'da isya hanya karena body lotion yang ia gunakan terlalu wangi, mengabaikan rasa dingin yang membuatnya sedikit menggigil. Menyuruhnya menghapus segala riasan make up yang dua puluh menit lamanya ia harus berdiam diri di depan cermin. Riasan itu membuatnya semakin mempesona, aku takut lelaki lain tergoda. Dan tentang baju-baju itu entah berapa kali ia harus mencoba, memperlihatkannya padaku, menurut saat aku menyuruhnya ganti, mencoba lagi, memperlihatkan lagi, mengganti lagi.

Jemari lentiknya menggenggam tanganku yang besar juga hitam, ahh dilihat dari kesenjangannya ini saja patut aku mencemburui istriku, ia cantik, mempesona juga sempurna.

“Semua yang aku lakukan agar kang mas tak malu saat memperkenalkan aku terhadap teman njenengan nanti. Tapi jika beriasku membuat hatimu gusar, penampilanku membuat hatimu tak tenang, maka aku akan senang sekali untuk berdiam di rumah saja. Menanti dirimu kembali sembari berias untukmu seorang.”

Tuhan, hatiku tak menentu mendengar penuturannya. Lelaki macam apa aku ini, hah? Tega sekali menyusahkan belahan jiwa demi ego. Dia berhak untuk berkenalan dengan teman-temanku, aku percaya dia tahu cara menjaga separuh nafas yang aku titipkan.

“Ayo sayang kita bersiap, silahkan pakai baju yang engkau suka tapi jangan tambahkan apa pun pada wajah juga bibirmu”

“Pakai baju tidur saja ya?”

“Jangaaannn”

Wanita dihadapanku terkikik, sial aku dikerjain.


**

Udang saus balado, cumi bakar rempah asam pedas, lalapan dan sebakul nasi telah terhidang di atas meja kecil di bawah hamparan langit yang dipenuhi kerlip bintang. Tak ketinggalan dua gelas es jeruk nipis melengkapi menu makan malam kami.

Dino teman satu SMA ku membuka warung makan di lereng gunung lawu, perbatasan antara jawa tengah dengan jawa timur. Ia pandai sekali membaca peluang usaha, tempat yang di pilihnya jikalau malam hari menghadap kota solo dengan lampu kota yang menawan, langit malam menjadi atap, hiasan alam sempurna membuat takjub mata yang memandang. Dingin udara pegunungan menambah kesan romantis setiap pasangan yang datang.

Saat siang hari hamparan hijau bukit menyejukkan indera penglihatan. Birunya langit mencerahkan setiap jiwa yang lelah, awan putih bersih yang berarak memberikan semangat untuk bergerak.

Dia tahu bahwa tempatnya cocok untukku yang memiliki waktu terbatas untuk sekedar pergi liburan.

“Mas, aku suapin ya”

Aku membuka mulut, mataku tak berkedip menatap anugrah terindah yang Tuhan berikan.

Satu... dua... tiga suapan, “Minum sayaang?”

Anggukan kecilku cukup menjawab pertanyaannya. “Sudah cukup”

“Apa?”

“Giliran adik yang makan, aku suapin gantian?”

“Tidak.. tidak... aku bisa makan sendiri”

“Ayolah ini lezat sekali”

Ia mengangguk. Dua suapan. Suapan berikutnya ia tahan, menggeleng pelan dan menenggak lembut minumannya.

“Mas, aku mau kebelakan bentar ya? Kang mas habiskan saja makanannya, aku sudah kenyang.”

“Jangan lama-lama sayang”

Lima belas menit berlalu, ahh wanita... sebenarnya apa saja yang mereka lakukan di dalam toilet sih?

Baru aku akan menyusul takut kalau terjadi apa-apa, wanitaku telah nampak berjalan tenang dengan anggunnya, aku sibuk memperhatikan sekitar jika ada mata yang tidak halal sedang mengaguminya. Enak saja, dia milikku seutuhnya.

“Lama banget sih, ngapain aja di toilet?”

“Mas, kepalaku pusing. Kita pulang ke rumah mamah yuk?”

Haa? Kalut.. kenapa tiba-tiba ia pusing? Baru kusadari wajahnya pucat pasi, suaranya melemah, dan.. pulang ke rumah mamah? Ke kota semarang? Lima jam dari sini. Sekarang pukul sembilan berarti jika jalanan lancar baru jam dua dini hari kami akan sampai.

“Tidak sayang, kita pulang ke rumah. Besok pagi aku antar ke rumah mamah”

Wanitaku menggeleng lemah, ia semakin tak bertenaga, membuatku lemas dengan perubahan drastisnya.

“Oke, tunggu disini aku bayar makanan kita”

Sepanjang perjalanan hatiku tak menentu, khawatir tentang keadaannya. Ia berulang kali menolak untuk ku ajak ke rumah sakit atau sekedar membeli obat di apotik. Badannya tergolek tak berdaya, ada keringat dingin yang mengucur memenuhi wajahnya.

Cukup!
Aku menolak memenuhi segala permintaannya. Memutar balik mobil, memasuki pelataran rumah sakit swasta yang cukup lengang.

Sigap perawat mendorong kasur beroda dimana wanitaku tak sadarkan diri. Aku mengutuki diri mengapa tak berhenti saat melewati rumah sakit pertama.

Wanitaku memasuki ruang UGD, beberapa saat setelah dokter jaga memeriksanya perawat menusukkan jarum infus di lengan kiri istriku, mengatur tetesan cairan bening tersebut dan menyelimutinya hingga batas dada.

“Bagaimana dokter keadaan istri saya?”

“Istri bapak baik-baik saja, beruntung bapak segera membawanya ke rumah sakit”

Kembali aku membodohi diri sendiri, andaikan dokter tahu yang sebenarnya pasti ia akan memakiku.

“Apa istri bapak baru tahu kalau ia alergi terhadap makanan laut?”

Deerrr... kepalaku berputar, pening seketika, ini kah alasan ia menolakku untuk menyuapinya?

“Juga maag akut yang ia derita menambah parah kondisinya”

Maag? Akut? Kenapa ia tak menolak saat aku memesankan jeruk nipis sebagai minuman kami? Tunggu.. bukan salahnya, aku yang tidak menawarinya, aku yang langsung memesan menu tanpa mempertimbangkan pendapatnya.

“Kami sudah memberikan penawarnya, kurang lebih dua jam lagi istri bapak akan siuman. Dokter akan memeriksanya lagi, jika kondisinya memungkinkan bisa langsung pulang namun jika belum, terpaksa istri bapak harus opname”

Aku, lelaki yang dengan bangga menjabat tangan ayahnya kala mengucap ijab kabul, berseloroh akan membahagiakannya, menjaga sepenuh hati hingga maut nanti ternyata malapetaka terbesar baginya.

Lelaki sok tahu yang dengan angkuh mengabaikan segala hal tersembunyi, tak mencari tahu terlebih dahulu. Lelaki macam apa aku?

Sekarang? Aku hanya bisa meratapi saat di dalam sana wanitaku tengah berjuang melawan kebodohanku. Inilah titik balik sikap aroganku. Aku tak mau kehilangan dia, kumohon Tuhan, kasihani aku.

Sayaang... buka matamu... sadarlah... kau harus menghukumku... maafkan aku...


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

10 komentar

Posting Komentar