Modul

5 komentar

Sedari dulu saat pertama aku diijinkan guru untuk menulis dengan pena maka tak ada satupun hal terlewat tanpa aku catat. Memperhatikan bapak dan ibu guru menerangkan di depan kelas adalah hal menarik yang tak ada duanya. Takjub menyelimuti ruang kelas saat beliau menguraikan penjelasan yang tidak tercetak pada buku panduan, terlebih saat setiap pertanyaan dari teman-teman mampu dijawab dengan memuaskan. Sejak itulah aku berpikir bahwa guru adalah orang hebat yang tahu segalanya. Pasti akan sangat menyenangkan untuk menjadi seorang guru.

Menginjak remaja dunia yang kukenal bertambah luas, mengikuti berbagai ekstrakulikuler sekolah menjadi kesibukan tambahan disamping belajar. Singkat cerita aku bergabung dengan organisasi islam dan terlibat dalam program kerja bedah buku di sekolah, menghadirkan seorang ustad dan juga penulis yang menjadi pembicara. Pandanganku berubah, betapa barokahnya hidup menjadi seorang yang mengingatkan sesama agar selamat dunia dan akhirat. Mungkin menulis hal yang bermanfaat akan mengalirkan pahala tak terputus, heemm... terdengar mengagumkan.

Setelah itu banyak hal aku temui, tak henti aku berdecak kagum setiap berkenalan dengan orang baru dan profesi baru. Tapi tak mungkin aku menjadi semuanya kan? Maka dari itu bertahun-tahun setelah kebimbangan menyelimuti hati, disinilah aku sekarang.

Layar proyektor menampilkan tulisan-tulisan yang cukup mudah dibaca meski peserta berada di kursi paling belakang, moderator duduk di atas sofa panjang yang terletak di depan spanduk besar bertuliskan, “Menemukan Potensi Diri”. Pembicara menguasai aula yang bagiku terasa dingin sebab tak biasa berada diruangan ber-AC. Beberapa kali terdengar riuh peserta saat pembicara melontarkan guyonan-guyonan sebagai penyegar di tengah diskusi yang serius ini.

Aku? Takzim pada buku catatan, tak boleh ada yang terlewat apa pun yang ditampilkan pada layar juga apa yang pembicara utarakan.

Hampir setengah acara berjalan, aku menyadari sesuatu yang mengusik. Disampingku duduk seorang perempuan dengan jilbab lebar dan berkacamata, ia tak mencatat apa pun. Wajahnya penuh minat setiap pembicara menjelaskan satu persatu dari tulisan yang muncul di layar, ikut tertawa saat caandaan nara sumber terdengar konyol. Santai sekali.

Beberapa kali aku melirik, tak ada catatan panjang yang ia bubuhkan pada buku, hanya satu dua kalimat yang menghiasi modul dengan warna pena berbeda. Aku biarkan dulu. Selang beberapa waktu aku gemas juga, seminar ini kami membayar mahal jadi sudah seharusnya memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada. Setelah menimbang-nimbang aku harus menyadarkannya dan untuk itu aku harus tahu dulu siapa dirinya.

“Mbak, dari mana?”

Perempuan itu tersenyum, mengangguk kecil sebelum menjawab pertanyaanku, “Dari wonogiri mbak, kalau mbak nya sendiri?”

“Saya Klaten mbak, ooo wonogiri, jauh juga ya, tadi dianter mbak?”

“Iya sama suami”

Aku mengangguk, “Hhii, kirain masih kuliah mbak”

“Sudah lulus mbak, angkatan 2012. Mbaknya angkatan berapa?”

“Saya baru sementer lima mbak. Sekarang sibuk apa mbak?”

“Di rumah aja mbak, bantu suami”

Dapat. Pantas saja, menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga. Ahh, mungkin ia tak seharusnya ada di ruangan ini. Buang-buang waktu saja. Bisa kutebak bahwa ia tak akan membawa pulang ilmu apa pun sebab tak sedikitpun kulihat rangkuman ilmu yang pembicara sampaikan. Tak yakin jika ia menghapal semua materi ini, ingatan itu tidak bisa dipercaya bahkan Imam Syafi'i sendiri menganjurkan untuk mengikat ilmu dengan menulisnya. Ironi melihat ibu rumah tangga masa kini yang tidak tertarik untuk banyak belajar lagi.

Masih ada waktu, mungkin jika beruntung aku bisa menyadarkan mbak ini untuk segera mencatat, ketertinggalannya bisa pinjam milikku.

“Ehhmm... Mbak?,” sungkan juga ternyata untuk memberitahu orang yang lebih tua

“Iya?”

Aiisssh, biar kutebak pastilah suaminya jatuh cinta karena senyum manis itu. Aneh, tak ada lesung pipit di wajah namun terlihat manis sempurna.

“Sejak tadi aku tak melihat njenengan mencatat”

“Dan saya melihat mbaknya rajin sekali mencatat”

Aku tersipu, ahh ternyata ia juga memperhatikanku, baiklah ini lebih mudah.

“Lalu kenapa mbak ngga mencatat?”

“Kenapa saya harus mencatat?”

Ya, biar pahamlah. Masak iya kayak gini aja saya harus kasih tahu? Udah pernah jadi mahasiswa juga kan?

Perempuan disampingku itu tersenyum lagi. Tangan putihnya membuka halaman modul yang aku pun juga punya, “Kenapa saya harus mencatat sebanyak itu jika semua sudah tercatat rapi dalam modul ini?”

Duaarrrr, ingin rasanya aku ditelan bumi saja. Modul yang telah dibagikan seminggu 
sebelum pertemuan tidak sekalipun aku membacanya, sok sibuk dengan urusan formal lainnya. Dan segala prasangkaku pada perempuan disampingku ini salah besar.

“Maaf, membiarkanmu mencatat terlalu banyak, tapi semoga dengan ini engkau paham betul bahwa membaca adalah awal dari segala ilmu.”

Meringis. Pasti jelek sekali mukaku. Menunduk adalah hal yang saat ini bisa kulakukan, menunjukkan rasa kalahku. Dasar sok tahu, rutukku dalam hati. Kawan, beritahu bagaimana harus kulewati satu jam lagi bersama perempuan cerdas yang telah kuremehkan ini.

Oh ya ngomong-ngomong siapa yang sering tak perhatian untuk membaca modul?


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

5 komentar

  1. Satu pelajaran berharga, ka Ci.
    Ahaha

    Tak boleh meremehkan. Biar selamat dari kesombongan, ehm

    BalasHapus
  2. Waduuuuh modul jadi inget sekokah toefl yg aku abaikan modulnya

    BalasHapus
  3. Dosenku jarang kasih modul. Yang ada suruh cari literatur sendiri lalu bikin makalah..ha

    BalasHapus
  4. saking sibuknya jadi gak kebaca ya k...

    BalasHapus

Posting Komentar