Dua Teman

9 komentar
Beruntungnya aku memiliki dua teman yang selalu ada. Mereka tak akan pernah pergi seperti kebanyakan teman yang lain, tak perduli bagaimanapun kondisiku. Keduanya seringkali berbeda pendapat, oh bukan sering tapi selalu. Hanya bisa terkikik saat melihat mereka beradu argumen. Keputusan terakhir memang ada di tanganku namun tak urung mereka memiliki andil besar untuk itu.

Sebut saja mereka 1 dan 2, sudah ada nama sebenarnya untuk mereka bukan sekadar angka seperti yang kuberikan. Hanya ingin membuat mereka berbeda, tak sama dengan yang lain.

Si 1 selalu melangkah ringan bersamaku, tertawa dengan apa pun yang aku kerjakan, kami sering menikmati hal-hal gila bersama. Terkadang menggoda adik kecil dengan merebut lolipop dari tangannya. Melihat tangisan si kecil serasa ada kepuasan tersendiri bagi kami, namun tenang saja si kecil tak pernah menaruh dendam padaku berkat Si 2 yang memintaku untuk mengembalikan dan meminta maaf setelah itu.

Si 2 memang terkesan sangat membosankan tapi aku butuh kehadirannya. Tak lengkap jika hanya jalan berdua, kami harus jalan bergandengan bertiga.
Persahabatan kami terbilang cukup lama, berpuluh tahun dan mereka tak pernah sekalipun pergi walaupun semarah apa pun diriku pada mereka. Seperti siang ini.

Aku merasa tak ada gairah lagi untuk hidup, berjuta ton beban membuat pundak mereot, masalah berdatangan tanpa ada solusi. Tugas kedua temanku bukan memberi solusi, mereka hanya memastikan diri untuk selalu ada dan memberikan dukungan. Memotivasi tanpa jalan keluar yang pasti, tetap saja semua akan kembali padaku.

Keduanya mengajakku untuk berlibur, hamparan hijau nan berbukit mungkin bisa melepas penat, angin segar pegunungan bisa jadi memberikan hal yang tak terduga. Sungguh aku menghargai usaha mereka, namun tak kunjung kudapati semangat dalam diriku. Dan disinilah aku sekarang...

Berdiri di tepi jurang menatap jauh ke bawah, tak berdasar. Batas jalan aku abaikan, melompatinya untuk bisa seperti ini. Kualihkan pandanganku ke depan, hamparan hijau yang seharusnya menentramkan justru membuatku muak. 
Sekeliling pemandangan begitu indah, menakjubkan, tak henti hati berdecak kagum tapi tak memberikan pengaruh. Keinginan untuk segera terjun semakin bulat, dengan begini aku menghilang dari dunia fana, terbebas dari rasa sakit juga kebohongan yang membungkusnya. Masalah tak kan mengejar hingga tak perlu bersusah payah mencari solusi. Inilah jalan keluar terbaik yang terpikirkan.

Kedua temanku masih bersamaku hingga kini, yakin sekali jika nanti aku ditelan kedalaman jurang inipun mereka akan tetap bersamaku, tak pernah sedikitpun meragukan kesetiaan mereka. Perdebatan mereka kali ini mungkin menjadi yang terakhir sebelum kami pindah dunia.

Si 1 : “Tersenyumlah kawan, bukankah sebentar lagi kau akan bahagia?”

Aku : “Benarkah setelah ini aku akan bahagia?”

Si 2 : “Pasti”

Ahh salah, mereka tidak beradu argumen, mereka mengiyakan keputusan yang aku ambil.

Baiklah, jangan terlalu lama menunda aku rindu untuk bahagia. Tubuhku meluncur dengan kecepatan yang semakin lama semakin tak terkendali, menghujam ranting-ranting kayu dan meninggalkan beberapa sayatan perih, bajuku terkoyak menyerupai pengemis ibu kota yang compang-camping. Tapi aku menikmatinya. Telinga berdengung, mata tetap terpejam menahan sakit ini, membiarkan darah segar mengalir dari luka-luka kecil di sekujur tubuh. Sebentar lagi... sebentar lagi semua ini akan musnah dan bahagia sedang menungguku.

Semakin dalam, semakin gelap sekelilingku, aku tahu meski mataku terpejam. Udara dingin menusuk kulitku. Meringis saat angin sepoi menyapa lukaku. Masih meluncur. Tetiba rasa takut menyelimuti, benarkah jurang ini memiliki dasar? Akankah setelah ini bahagia tercipta? Aku meragukan keputusanku sendiri. Tetesan air langit membasahi tubuhku, dimulai dari kaki mengalir ke area kepala dengan amis darah, melewati kepalaku dan lebih dulu meninggalkanku mencari dasar jurang. Posisi terbalik semacam ini membuat kepalaku pening, mual dan berkunang.

Si 1 yang lebih dulu terjun berteriak bahagia tak jauh dariku, sedangkan si 2 tak terdengar suaranya. Ia memang tak banyak bicara. Tunggu, mungkinkah ia tidak ikut bersama kami untuk terjun? Dasar pengkhianat.

Halilintar menyambar pohon tua di bawahku, nyala api menghangatkan tubuh, untung tidak membakarku. Semakin jauh aku terjun semakin aku tak yakin dengan keputusanku. Saat inilah aku membenci si 2, bukankah tadi ia meyakinkanku bahwa akan ada bahagia setelah ini? Tapi mengapa ia sendiri tak ikut terjun bersama? Lihat saja, setelah sampai dasar jurang, aku akan memutuskan pertemanan dengannya.

Aku menunggu... menunggu sangat lama namun tak kunjung tiba, bertemu dasar jurang dan menjemput bahagia. Masih jelas terdengar si 1 yang berteriak girang.

Kurasakan kaki kananku seperti terikat. Tali melilitnya kuat membuatku berhenti terjun bebas.

Di dinding terbing nampak sesosok tubuh yang mengayunkan tangannya, inikah dasar itu? Aku menyambut tangan itu, susah payah hingga kami menempel pada dinding. Dari dekat jelas terlihat si 2 yang berkeringat, disekujur tubuhnya juga penuh luka sepertiku bedanya ia masih saja tersenyum. Lengkingan si 1 perlahan menghilang dalam kegelapan, pasti jarak kami semakin lebar.

Ada yang kau lupa kawan”

Aku mengernyitkan kening, aku sudah tak sanggup berpikir dengan kondisi seperti ini, “Katakan”

Sebelum terjun, kau lupa mendongakkan kepalamu ke atas. Kau belum melihat langit yang berdiri gagah dengan awan-awan putih bersih disana. Awan mendung yang mengandung air hujan bukanlah bencana, dia diperintahkan Tuhannya untuk menghidupkan tanah gersang. Adakah kau ambil pelajaran?”

Baru kali ini si 2 berbicara cukup panjang terlebih ia menasehatiku. Tapi aku 
tak tahu kemana arah pembicaraan ini.

Aku lelah dan aku menyerah,” rintihku

Si 2 mengenggam erat tanganku, membawaku melesat terbang ke atas. Kami berdua terdiam. Tak seperti perjalananku terjun yang membutuhkan waktu lama, baru dua detik kami telah berada di tempat sebelum aku terjun, di tepi jurang.

Lelah atau jengah? Tetap saja bukan saatnya untuk menyerah”

Saat si 2 mengatakan itu datang si 1 yang sudah tak berbentuk. Darah mengucur dari setiap bagian tubuhnya, rambutnya terjabut sebagian, tangannya tak berada di posisi seharusnya, kedua kakinya patah membuat ia berjalan dengan pincang.

Dasar jurang memang ada, tapi kuharap cari jalan lain untuk menghabiskan nyawamu. Ini sangat menyiksa”

Kenapa kau tak mati?”

Dasar manusia, bagaimana aku bisa mati. Selagi kau masih hidup tugasku masih berlanjut”

Napasku naik turun, menyusup rasa bahagia dalam dada. Sungguh tak ingin lagi aku tergesa.

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

9 komentar

Posting Komentar