Belum Bernama

4 komentar
Dihadapanku terbentang luas hamparan sawah, sejauh mata memandang hanya warna hijau yang tertangkap mata. Mungkin sekarang adalah masa tandur, masa awal menanam padi kembali setelah masa panen berlalu. Tak ada yang bisa kulakukan.

Beberapa anak kecil berkumpul di dalam gubug di pinggir sungai yang airnya mengalir, jernih--sampai-sampai ikan yang berenang jelas terlihat. Ada empat anak kuhitung, namun yang terdengar bukan suara gelak tawa mereka, hanya dengungan dari masing-masing yang sibuk dengan benda kecil dalam genggaman. Aku hanya paham beberapa istilah saja dalam dunia manusia.

Andaisaja aku tak terlampau marah dengan semua, mungkin aku tidak harus terdampar disini, di dunia manusia yang sama sekali belum pernah aku kunjungi. Pada pelajaran awal semester sempat menyinggung tentang kehidupan makhluk lain di bumi, salah satunya manusia, namun tidak ada rencana dari sekolah untuk melakukan study banding agar mengenali dunia mereka.

Jadi kenapa aku bisa tiba disini? Seorang diri?

Akan kuulas kembali kisah pedih akibat kecerobohanku mengedepankan emosi, yah aku sendiri yang akhirnya harus kalang kabut.

Pagi itu sekolah mengadakan ujian pemberian nama. Nama diberikan sesuai kemampuan yang dimiliki. Hanya yang lulus ujian saja yang akan diberi nama, yang tidak lulus akan mengulang ujian hingga berhasil mendapatkan nama. Bagaimana jika tidak lulus lebih dari dua kali? Sayangnya itu tidak pernah terjadi. Dan akulah yang ditakdirkan untuk mencoreng nama baik kerajaan di Sekolah Penyihir.

Teman-teman satu angkatan dari kerajaan lain tersenyum bangga sebab akhirnya legenda bahwa semua keluarga istana Kerajaan Mahardika adalah yang terbaik, kini terbantahkan.

Penguji pun tak percaya bahwa satu dari sekian banyak yang harus mengulang ujian adalah anak bungsu dari Raja Roderick, bahkan harus menjalani selama dua kali, dan pada ujian yang kedua pun ia masih gagal, sungguh memalukan.

Sahabatku dari kerajaan yang sama berlari mengejarku yang sesunggukan di ujung koridor sekolah.

Tenanglah, kami akan mengajarimu”

Hentikan ucapanmu, Lighter”

Ya, temanku mendapat nama Lighter sebab ia mampu meracik ramuan dimana akan menghasilkan cahaya yang mampu menerangi satu kota.

Kami tahu perasaanmu, lupakan saja mereka yang mencemooh, mari kita pulang ke istana”

Dan seluruh istana akan mulai menertawakan kegagalanku, begitu yang kau maksud Aurora?”

Indah sekali nama tersebut, temanku mendapatkannya setelah ia berhasil menyatukan beberapa mantra, mengurangi dan menambahi dengan ilmu pengetahuan yang ia kuasai hingga ketika ia merapalkannya maka langit akan berwarna merah keemasan, sinar mentari hangat akan menyapa, dan tanda kehidupan terasa nyata.

Keduanya terdiam, mereka tahu putri bungsu Ibunda Ratu Merlian begitu keras wataknya, mungkin disebabkan oleh perlakuan manja yang diterima dari kakak-kakaknya.

Aku mau pergi, dimana mereka tidak mengenal siapa aku, juga kegagalanku”

Lighter dan Aurora saling berpandangan, “Mau kemana?”

Senyumku mengembang, ide paling gila melesat di kepala, “Ke dunia manusia”

Keputusan terburu-buru yang diambil tanpa perhitungan kala marah memang tak sebaiknya kuulangi, namun tak mungkin menarik ucapanku, aku bukan pecundang.

Tapi sekarang apa? Sepatu kaca yang kugunakan telah kotor oleh lumpur. Gaun megahku tak sebersih saat aku meninggalkan sekolah sihir. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus bagaimana. Aaaarggghhhh.....

Aku harus berbuat sesuatu, jika hingga malam terus begini maka aku tak akan berani kembali ke istana.

Anak-anak di gubug itu menjadi perhatianku, usia mereka sekitar dua hingga lima tahun berdasarkan perhitungan manusia. Orang tua mereka tengah sibuk berada di dalam sawah yang penuh lumpur. Mereka mungkin dibawa kesana sebab tak ada yang mejaga jika ditinggal di rumah.

Perlahan kudekati mereka, berjalan dipematang sawah dengan sepatu kaca 
membuat kakiku masuk lebih dalam, baru kusadari ini semacam tanah liat bukan susunan bebatuan seperti di duniaku. Maka sepatu tersebut terpaksa aku jinjing agar tak memperlambat langkahku.

Permisi, boleh kakak duduk disini?”

Tak ada yang menyahut, bahkan menengok sedikitpun. Baiklah benda kecil itu sepertinya punya kekuatan mengalihkan perhatian.

Satu menit... dua menit... mungkin sepuluh menit, ahh kenapa dulu aku tak memperhatikan bagaimana manusia menghitung waktu. Tetap tak ada yang tertarik padaku.

Aku penasaran. Tanganku reflek menyentuh keempat benda ajaib itu dalam waktu yang hampir bersamaan, daann....


Loh kok mati?”
Iya tiba-tiba mati”
Habis baterai mungkin”
Tadi full kok”


Memang itu apa?”


Semua perhatian kini beralih padaku, yesss aku dapatkan mereka.

Namun tidak, mereka ternyata sama saja dengan teman-temanku di sekolah sihir, mengabaikanku, sibuk membongkar benda kecil tersebut, sambil menggumamkan kalimat-kalimat yang tak jelas terdengar.

Lebih lama dari waktu yang tadi, mungkin tiga puluh menit, kuamati mereka mulai bosan dan menyerah. Ini waktuku.

Kucoba menyenandungkan lagu yang dulu pernah diajari di sekolah sihir pada bab Anak Manusia.


Anak bebek pergi berenang
Masuk kolam juga ke sungai
Anak bebek lalu menghilang
Ibu bebek pergi mencarikwek... kwekk...


Bebeknya hilang kemana, Kak?”


Hah... lalu setelah ini apa?


Bersambung........


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

4 komentar

Posting Komentar