Dihadapanku
terbentang luas hamparan sawah, sejauh mata memandang hanya warna
hijau yang tertangkap mata. Mungkin sekarang adalah masa tandur,
masa awal menanam padi kembali
setelah masa panen berlalu. Tak ada yang bisa kulakukan.
Beberapa
anak kecil berkumpul di dalam gubug di
pinggir sungai yang airnya mengalir, jernih--sampai-sampai ikan yang
berenang jelas terlihat. Ada empat anak kuhitung, namun yang
terdengar bukan suara gelak tawa mereka, hanya
dengungan dari masing-masing yang sibuk dengan benda kecil
dalam genggaman. Aku hanya
paham beberapa istilah saja dalam dunia manusia.
Andaisaja
aku tak terlampau marah dengan semua, mungkin aku tidak harus
terdampar disini, di dunia manusia yang sama sekali belum pernah aku
kunjungi. Pada pelajaran awal semester sempat menyinggung tentang
kehidupan makhluk lain di bumi, salah satunya manusia, namun tidak
ada rencana dari sekolah untuk melakukan study banding agar
mengenali dunia mereka.
Jadi
kenapa aku bisa tiba disini? Seorang diri?
Akan kuulas
kembali kisah pedih akibat kecerobohanku mengedepankan emosi, yah aku
sendiri yang akhirnya harus kalang kabut.
Pagi itu
sekolah mengadakan ujian pemberian nama. Nama diberikan sesuai
kemampuan yang dimiliki. Hanya yang lulus ujian saja yang akan diberi
nama, yang tidak lulus akan mengulang ujian hingga berhasil
mendapatkan nama. Bagaimana jika tidak lulus lebih dari dua kali?
Sayangnya itu tidak pernah terjadi. Dan akulah yang ditakdirkan untuk
mencoreng nama baik kerajaan di Sekolah Penyihir.
Teman-teman
satu angkatan dari kerajaan lain tersenyum bangga sebab akhirnya
legenda bahwa semua keluarga istana Kerajaan Mahardika adalah yang
terbaik, kini terbantahkan.
Penguji pun
tak percaya bahwa satu dari sekian banyak yang harus mengulang ujian
adalah anak bungsu dari Raja Roderick, bahkan harus menjalani selama
dua kali, dan pada ujian yang kedua pun ia masih gagal, sungguh
memalukan.
Sahabatku dari kerajaan yang sama berlari mengejarku yang sesunggukan di ujung koridor sekolah.
“Tenanglah,
kami akan mengajarimu”
“Hentikan
ucapanmu, Lighter”
Ya,
temanku mendapat nama Lighter
sebab ia mampu meracik ramuan dimana akan menghasilkan cahaya yang
mampu menerangi satu kota.
“Kami
tahu perasaanmu, lupakan saja mereka yang mencemooh, mari kita pulang
ke istana”
“Dan
seluruh istana akan mulai menertawakan kegagalanku, begitu yang kau
maksud Aurora?”
Indah
sekali nama tersebut, temanku mendapatkannya setelah ia berhasil
menyatukan beberapa mantra, mengurangi dan menambahi dengan ilmu
pengetahuan yang ia kuasai hingga ketika ia merapalkannya maka langit
akan berwarna merah keemasan, sinar mentari hangat akan menyapa, dan
tanda kehidupan terasa nyata.
Keduanya
terdiam, mereka tahu putri bungsu Ibunda Ratu Merlian begitu keras
wataknya, mungkin disebabkan oleh perlakuan manja yang diterima dari
kakak-kakaknya.
“Aku
mau pergi, dimana mereka tidak mengenal siapa aku, juga kegagalanku”
Lighter
dan Aurora saling berpandangan, “Mau kemana?”
Senyumku
mengembang, ide paling gila melesat di kepala, “Ke dunia manusia”
Keputusan
terburu-buru yang diambil tanpa perhitungan kala marah memang tak
sebaiknya kuulangi, namun tak mungkin menarik ucapanku, aku bukan
pecundang.
Tapi
sekarang apa? Sepatu kaca yang kugunakan telah kotor oleh lumpur.
Gaun megahku tak sebersih saat aku meninggalkan sekolah sihir. Tak
tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus bagaimana. Aaaarggghhhh.....
Aku harus
berbuat sesuatu, jika hingga malam terus begini maka aku tak akan
berani kembali ke istana.
Anak-anak
di gubug itu menjadi
perhatianku, usia mereka sekitar dua hingga lima tahun berdasarkan
perhitungan manusia. Orang tua mereka tengah sibuk berada di dalam
sawah yang penuh lumpur. Mereka mungkin dibawa kesana sebab tak ada
yang mejaga jika ditinggal di rumah.
Perlahan
kudekati mereka, berjalan dipematang sawah dengan
sepatu kaca
membuat kakiku masuk lebih dalam, baru kusadari ini
semacam tanah liat bukan susunan
bebatuan seperti di duniaku. Maka sepatu tersebut terpaksa aku
jinjing agar tak
memperlambat langkahku.
“Permisi,
boleh kakak duduk disini?”
Tak
ada yang menyahut, bahkan menengok sedikitpun. Baiklah benda kecil
itu sepertinya punya kekuatan mengalihkan perhatian.
Satu
menit... dua menit... mungkin sepuluh menit, ahh kenapa dulu aku tak
memperhatikan bagaimana manusia menghitung waktu. Tetap tak ada yang
tertarik padaku.
Aku
penasaran. Tanganku reflek menyentuh keempat benda ajaib itu dalam
waktu yang hampir bersamaan, daann....
“Loh
kok mati?”
“Iya
tiba-tiba mati”
“Habis
baterai mungkin”
“Tadi
full kok”
“Memang
itu apa?”
Semua
perhatian kini beralih padaku, yesss aku dapatkan mereka.
Namun
tidak, mereka ternyata sama saja dengan teman-temanku di sekolah
sihir, mengabaikanku, sibuk membongkar benda kecil tersebut, sambil
menggumamkan kalimat-kalimat yang tak jelas terdengar.
Lebih
lama dari waktu yang tadi, mungkin tiga puluh menit, kuamati mereka
mulai bosan dan menyerah. Ini waktuku.
Kucoba
menyenandungkan lagu yang dulu pernah diajari di sekolah sihir pada
bab Anak Manusia.
Anak
bebek pergi berenang
Masuk
kolam juga ke sungai
Anak
bebek lalu menghilang
Ibu
bebek pergi mencari … kwek... kwekk...
“Bebeknya
hilang kemana, Kak?”
Hah...
lalu setelah ini apa?
Bersambung........
Whaaaaa cerita anak sukaaa
BalasHapusCerita anak?
HapusKeren dik ci li
BalasHapusIbu bebek...pergi ke kandang sebelah.
BalasHapusWah... ke dunia dongeng...