Menjadi Anak Kecil (lagi)

6 komentar
Lupa kapan tepatnya aku mulai terhanyut dengan rutinitas yang menghabiskan waktu produktifku. Bertahun-tahun disibukkan dengan hal yang diulang sama setiap harinya. Hingga ada sesuatu dalam hati yang datang saat perenungan tegah malam. Aku bosan.

Bosan dengan hal itu-itu saja; bangun tidur, pergi kerja, pulang kerja, sebentar belajar lalu tidur. Enam hari dalam satu pekan. Di hari minggu aku memilih untuk memanjakan diri dengan tidur siang, nonton tivi, baca novel, makan, tidur sore. Malamnya ada ke-engganan untuk menyambut hari senin.

Bagaimana dengan keluar dengan teman?


Itu termasuk dalam daftar kebosananku. Teman-teman memang sering protes sebab biasanya akhir pekan selalu ada waktu untuk mereka namun aku mengelak dan beralasan untuk beristirahat. Aku lelah, tidak... tepatnya aku bosan.

Beberapa teman bahkan mengajukan penawar bosan yang beberapa waktu mulai aku abaikan. Menikmati ketinggian dengan menyeduh kopi dan menanti hangat sunrise menerba tubuh menggigil di atas awan misal atau menawarkan diri untuk menemaniku berolahraga agar badan bugar dan pikiran kembali segar. Ada juga yang terang-terangan menanyakan hal yang bisa membuatku kembali bersemangat. Kuucapkan terimakasih atas segala perhatian kalian sungguh Allah Maha Baik telah mengirimkan kalian untuk berada disampingku.

Namun aku menolak semua niat baik mereka, aku sering melakukan itu. Hafal bagaimana akhirnya nanti. Kelelahan hingga terlelap lebih cepat dari biasanya dan akhirnya berjumpa kembai dengan hari senin.

Lalu apa yang kau butuhkan?

Jangan tanya aku. Menjadi data analis bertahun-tahun toh nyatanya tak mudah menganalisa kebutuhan diri sendiri.

Nampaknya Tuhan masih menginginkan aku untuk melanjutkan hidup dengan penuh semangat. Minggu pagi Dia mendatangkan solusi dari pulau jawa sebelah timur. Pagi sekali, dan sungguh aku hanya mengikuti gerakan tubuh untuk menjalankan peran dalam cerita yang telah dituliskan.
 
Kami telah berada di padang rumput dengan bukit-bukit kecil yang bergelombang. Tiga adik kecil yang menjadi tanggung jawabku berlarian kesana kemari tanpa memperdulikan panas matahari yang tengah naik. Arya, anak lelaki yang bertubuh kurus kecil itu bahkan sengaja menjatuhkan diri dan berguling-guling di atas rerumputan. Adiknya Yasmin berlari mengekor dibelakangnya tapi ia tak sampai hati mengotori bajunya dengan mengikuti polah kakaknya.

Satu lagi adik kecil yang dilihat dari postur tubuhnya lebih besar dibanding yang lainnya tak ketinggalan mengitari area padang rumput dengan dua ayunan disana.

Aku tersenyum melihat mereka dari kursi dan sesekali mengabadikan tingkah polos mereka. Dan aku tahu apa yang aku butuhkan. Bingo.

Menjadi anak kecil kembali.
  
Biarkan tubuhku tetap seperti ini, namun jiwa dewasaku sengaja aku titipkan dulu pada alam. Aku membutuhkan jiwa kanak-kanak untuk mampu bergabung menikmati sekitar tanpa rasa takut pada apa pun.

Mereka menghampiriku dengan wajah berpeluh dan nafas yang naik turun, kuajak mereka duduk dan menikmati bekal yang ada. Bercerita apa pun, bercanda dan tertawa. Saat rasa dahaga mereka telah terhapuskan kembali keinginan untuk berlarian muncul, untuk hal ini aku jelas tidak akan mengikutinya. Kubiarkan mereka melakukan hal yang disuka.



Saat aku ditinggalkan ada makhluk kecil lucu nan menggemaskan dengan pipi tembemnya malu-malu mendekatiku. Dia meloncat-loncat dengan tertawa, mencoba mencuri perhatianku. Aku lambaikan tangan untuk mengajaknya mendekat bertepatan pula dengan ketiga adik-adik kecilku yang berdatangan.

  
Menyatukan mereka dengan gelembung sabun yang berterbangan di udara adalah hal sederhana yang menakjubkan. Ada rasa bahagia melihat mereka tertawa dan berlomba memecahkannya. Sekuat tenaga dan secepat-cepatnya aku meniup air sabun ke udara agar mereka tak perlu menunggu.


  
Lelah membuat kami duduk sejenak di atas hamparan hijau bak permadani lembut, baru sesaat mereka sudah berlari ke bagian lain untuk bermain air bening yang berkilauan ditempa sinar mentari siang.

Menyusul setengah berlari, aku curiga jiwa dewasaku tengah iri mengintip dari balik tirai yang mengurungnya dalam rutinitas itu. Tak kuperdulikan, aku anak kecil sekarang tolong jangan ganggu anak kecil yang sedang bermain, itu sungguh akan menyakitkan.


Ikan-ikan kecil berenang menjauh saat kaki kami memasuki area mereka, hingga si kecil mengutarakan keinginannya menangkap ikan tersebut. Baiklah aku tahu rasanya berburu ikan di kali. Let me show how to do it.


Kebahagiaan memenuhi duniaku siang ini, rona-rona gembira mereka melihat ikan-ikan yang sebelumnya berada di aliran air bening kini sudah dalam genggaman. Terlebih aku yang tak mampu mengungkapkan semuanya dalam kata, ada semangat aneh yang mengesampingkan rasa malu untuk terjun ke sawah, menahan terpaan panas garang mentari, juga menekan rasa lelah hingga ke dasar.


  
Perlahan matahari menenggelamkan dirinya di ufuk barat seiring kembalinya jiwa dewasaku yang enggan berpisah terlalu lama.

Aku mengajak mereka membersihkan diri untuk selanjutnya bersiap kembali ke timur, sedikit banyak kudengar penolakan untuk pulang namun waktu untuk bersenang-senang telah usai.

Besi beroda empat memperlebar jarak kami, lambaian tangan penuh semangat muncul dari dalamnya. Teriring doa untuk keselamatan kalian.

Ketika sempurna sudah jiwa dewasaku melesak masuk dan menyisakan sedikit tempat untuk jiwa kanak-kanakku, lelah mendera. Aku terlelap dalam senyum yang sulit dilukiskan.


Terimakasih peri-peri kecilku.

--------+++++---------


Mungkin, jika dewasa ini kita lupa caranya bahagia dan menikmati hidup, cobalah memanggil jiwa kanak-kanak kita kembali.


🎶🎶🎶🎶🎶
Bagiku kau bintang
Selayaknya puisi
Tetaplah di sini peri kecilku

🎵🎵by : Sheila on 7
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

6 komentar

Posting Komentar