Sebuah Pertanyaan Untukmu

4 komentar

Tiga ratus meter dari rumahku berdirilah bangunan asri dengan 6 ruang kelas dan satu ruangan besar yang menjadi ruang guru juga ruang terima tamu. Setiap pagi ketika melewatinya selalu kupelankan laju kendaraan, melirik ke Sekolah Dasar tersebut dan menganggukkan kepala kala ada guru yang tengah berada di luar. Sebut saja Pak Yunanto, guru olahraga yang selalu berada di luar kelas setiap harinya untuk mengajarkan betapa olahraga adalah hal penting agar kebugaran tubuh terjaga, dengan raga yang sehat maka penyakit tidak mudah datang, semangat untuk merengkuh ilmu pun akan menghampiri serta mimpi yang dicita-citakan lekas tergapai. Petuah beliau masih teringat betul.

Belasan tahun silam aku berada di antara teman-teman sekelas di tengah lapangan upacara. Jumlah kami ada dua belas orang, enam perempuan dan enam laki-laki, entah mengapa bisa seperti itu. Dulunya dibelakang sekolah kami terdapat sekolah dasar pula namun sejak aku duduk di kelas dua, sekolah kami bersatu dan hilanglah persaingan yang dulu sering muncul kepermukaan.

Dipersatukan karena semakin berkurang jumlah murid setiap tahunnya, persaingan yang sering timbul akhirnya dijadikan kekuatan untuk bangkit bersama agar tetap ada sekolah di kelurahan kami. Kelurahan kami terdiri dari 9 Rukun Warga (RW), namun luas wilayah menyulitkan kami jika harus menempuh pendidikan di beda kelurahan.

Karena jumlah warga sekolah yang sedikit memungkinkan kami untuk mengenali adik dan kakak tingkat dengan baik. Istirahat selama tiga puluh menit menjadi waktu berkualitas untuk menghafal tingkah polah sesama penghuni sekolah. Dan dari situlah hal yang hingga kini masih menjadi misteri bagiku dimulai.

Panggil ia Bagas, kakak kelasku. Rumah kami hanya berjarak empat rumah tetangga. Dia sering main ke rumahku bersama teman-teman yang lain sepulang sekolah. Kami memang sering bermain bersama karena usia yang tak terpaut jauh terlebih memang jumlah teman kami terbatas.

Aku ingat suatu waktu saat dia datang kerumahku bersama yang lain, aku tengah tidur siang. Mereka menunggu bangunku dengan menonton acara kartun di ruang televisi. Namun hingga sore aku tak juga bangun maka satu persatu pulang ke rumah masing-masing. Sebenarnya yang terjadi aku sudah lama terjaga, namun jika mau membasuh muka harus melewati mereka, malu dong kelihatan kucel di depan mereka.

Tak tahunya Bagas belum pulang, ia bermain pasir di depan rumahku. Kuhampiri ia, ini jelas setelah aku mencuci muka dan merapikan rambut.

Kenapa belum pulang?”

Sedikit terkejut ia menyadari kehadiranku, wajahnya berubah aneh saat ia mendongakkan kepala dari posisi jongkoknya.

Aku pulang dulu ya”

Eh, aneh. Tiba-tiba saja pamit pulang.

Hari selanjutnya teman-teman kami tiba-tiba saja membuat rusuh. Beberapa dari mereka menyoraki kala Bagas berada dekat denganku. Aku biasa saja, lebih tak paham apa yang mereka maksud. Begitu juga dengan Bagas.

Berulang hal seperti itu hingga membuatku risih juga. Mungkin begitu pula dengan Bagas, ini membuat ia mulai menjaga jarak denganku. Meski begitu teman-teman sering berteriak saat aku berjalan di depan mereka, bilang bahwa Bagas mencariku, padahal jelas Bagas ada bersama mereka dan yang disebut namanya hanya tersenyum.

Aku makin tak paham apa sebenarnya yang mereka maksud. Dan seiring bergantinya 
siang dan malam aku mulai membenci mereka. Aku tak suka mereka menyorakiku atau menjahiliku selama itu berhubungan dengan Bagas. Karena sejak itu Bagas tak mau lagi bertandang ke rumahku, bermain bersamaku ataupun dekat-dekat denganku.

Aku tak juga berani jika harus memulai lebih dulu untuk mendekati Bagas, teman-teman kami pasti akan membuat keributan tak jelas dari ocehan mereka.

Beberapa waktu berselang akhirnya kami terpisah karena Bagas telah lebih dulu lulus. Tidak lagi berjumpa di sekolah ternyata tidak menghentikan kebiasaan teman-teman. Saat di rumah, ketika bertemu di warung, saat lomba tujuh belasan bahkan sekedar aku lewat dimana Bagas dan teman-temannya tengah duduk santai.

Tak pernah ada keberanian muncul untuk menghentikan sikap mereka. Sedikit kecewa sebab Bagas tak mencoba untuk menghentikan ulah teman-temannya, atau aku saja yang tidak tahu? Entahlah aku tak pernah berbicara langsung dengannya lagi sejak saat dulu itu.

Seharusnya Bagas tidak boleh menjauhiku karena toh teman-temannya juga tidak berhenti untuk meneriaki kami dengan perkataan yang tidak jelas itu. Tapi, ahh sudahlah.

Aku melupakan nya hingga bertahun-tahun kami kembali dipertemukan setelah ia menamatkan kuliahnya di luar kota.

Malam ini ia menjadi wakil desa untuk lomba bulu tangkis antar RW, aku disana menjadi panitia perlombaan. Karena suatu sebab dimana lawan kami tidak datang maka RW kami langsung lolos tanpa perlu bertanding. Ada waktu yang lumayan lama menunggu giliran untuk maju.

Beberapa kali aku menangkap Bagas mencuri pandang ke arahku yang itu berarti aku juga melakukan hal serupa, namun masing-masing dari kami saling memalingkan. Pemberontakan dalam hati aku abaikan, aku sudah lelah untuk memperbaiki hubungan kami, untuk apa berjuang jika Bagas tak ada niat untuk ikut serta.

Sial. Bagas pindah posisi, ia duduk bersama karangtaruna RW yang berada di depanku. Ini jelas tidak memungkinkan dia untuk melihatku namun menyesakkan karena aku bisa dengan jelas melihat senyum itu hadir saat mereka bercengkrama. Aku ikuti caranya, mencari tempat dimana akses tatapanku terhadapnya hilang. Hanya beberapa menit karena sepertinya Bagas sama tersiksanya denganku. Ia menghilang.

Jadwal pertandingan antara Bagas dengan lawannya sebentar lagi, namun ia tak juga menampakkan batang hidungnya. Eh, kenapa aku kini mencarinya? Tubuhku semakin menegang setiap wasit meniupkan peluit tanda poin bertambah untuk RW yang sedang berlaga.

Kuputuskan untuk menghampiri ketua panitia, mengeluarkan alasan paling pengecut untuk sekedar menghindari mata ini menikmati segala tingkah Bagas saat bertanding nanti. Aku ijin pulang karena besok masuk kerja.

Kutinggalkan gedung serbaguna yang masih riuh oleh sorak penonton. Rasa ini masih mengganjal, entah sampai kapan. Kenapa tak ada keberanian dari masing-masing kami untuk kembali memulai seperti dulu kala.

Kerikil di jalanan menjadi pelampiasan rasa kesalku pada teman-teman, kenapa mereka harus merusak hubunganku bersama Bagas dengan sorakan-sorakan tak bermutu itu.

Untukmu Bagas, apa ada yang kau sembunyikan dariku? Benarkah maksud teman-teman bahwa sejak dulu kau ingin merasa lebih dari pertemanan kita? Kumohon, jika setelah ini kita bertemu maka menyapalah karena aku masih malu untuk melakukannya lebih dulu.


----------+++++++++++------------

haii tetangga, kita tidak mungkin seperti ini terus kan?
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

4 komentar

Posting Komentar