Permintaan Iban - Tamat

2 komentar
Cerita sebelumnya ada Di Sini

Mata Iban berbinar saat melihat motor ayah sudah berada di teras rumah. Asyik.. ayah sudah pulang, Iban bersorak dalam hati. Ia mempercepat langkah kakinya meninggalkan Kak Nala beberapa meter di belakang. Kak Nala ikut tersenyum seolah merasakan keriangan adiknya.

“Bunda, Ayah mana?”

“Wa'alaikumsalam sayang”

“Assalamu'alaikum, Bunda,” Kak Nala mengucapkan salam sambil terkikik melihat Bunda menyindir Iban yang lupa memberi salam.

“Maaf Bunda, Iban pengen ketemu Ayah soalnya”

“Iya sayang, Ayah baru mandi sebentar lagi selesai”

Iban menuju depan kamar mandi dan modar-mandir, tak sabar rasanya menunggu ayah keluar. Suara air yang diguyurkan belum berenti, sungguh ia tak sabar menunggu lebih lama lagi.

“Ayah, mandinya cepet,” Iban menggedor pintu kamar mandi.

“Iya, sudah selesai.”

Suara kecipak air masih terdengar, Iban bersungut.

Kak Nala mendekati Bunda yang geleng-geleng memperhatikan tingkah Iban.

“Bunda, sepertinya Iban mau mengadu pada Ayah”

Kini fokus Bunda beralih ke Kak Nala, “Mengadu tentang apa, Kak?”

“Tadi Iban sama sekali tidak tertarik saat Kak Nala mengajak melihat teman-temannya bermain sepak bola di lapangan. Bunda tahu kan sepak bola adalah permainan kesukaan adik.”

Bunda mengangguk paham.

“Mungkin ada teman sekolahnya yang nakal, sehingga Iban tidak mau lagi bermain sepak bola. Cuma ayah yang bisa membalas kenakalan temannya itu. Itulah kenapa Iban ingin sekali ngomong sama ayah.”

Ada senyum di wajah teduh Bunda, betapa ia bangga pada Kak Nala yang begitu memperhatikan adiknya. Jika sesama anggota keluarga saling memperhatikan maka keharmonisanlah yang akan mereka rasakan.

“Bunda kira Iban ingin berlatih trik sepak bola baru dengan ayah”

“Masuk akal sih Bun. Iban tidak mungkin meminta Bunda maupun Kakak yang jelas tidak tahu tentang sepak bola.”

Terdengar suara pintu kamar mandi dibuka, ayah keluar dengan wangi sabun yang menyegarkan. Ayah sedikit terkejut melihat Iban berdiri tepat di depan pintu kamar mandi.

“Iban nunggu ayah?”

Senyum merekah di wajah Iban, “Ayah, Iban mau ngomong sesuatu. Ayok duduk di sofa dulu.”

Tangan ayah digandeng Iban menuju sofa, berkumpul bersama Bunda dan Kak Nala. Semua penasaran dengan apa yang akan Iban sampaikan ke Ayah.

“Ayah, Iban mau minta diajari main sepak takraw”

Ayah dan Bunda saling berpandangan.

“Iban sering liat temen-temen Kak Nala latihan sepak takraw di lapangan, waktu Iban bilang mau ikut katanya tidak boleh. Iban pengin sekali, Ayah pasti bisa mainnya kan?”

Kening ayah berkerut mencerna permintaan anak laki-laki nya ini.

“Iya dik tidak boleh, karena teman-teman Kak Nala sedang latihan untuk mengikuti lomba sepak takraw tingkat kabupaten bulan depan.”

“Tapi Iban mau Kak, Ayah ajari Iban ya?”

Ayah terdiam, tak tega rasanya menolak permintaan Iban. Ia melirik Bunda yang mengangguk, sebuah tanda bahwa Ayah harus menuruti permintaan Iban. Ayah dan Bunda tahu sebuah penolakan akan menghancurkan setiap mimpi dan harapan anak-anak mereka. Namun orang tua juga bukan manusia serba bisa yang mampu mengabulkan setiap permintaan anak-anaknya.

“Besok kita akan beli bola takraw dan akan belajar bersama.”

Iban mengangguk mantap, memeluk Ayah. Ia selalu tahu bahwa Ayahnya yang terhebat. Bunda kembali menyuguhkan senyum di wajahnya, sekali lagi Ayah menjadi pahlawan untuk anak-anaknya.

Tiba-tiba Kak Nala melontarkan sebuah pertanyaan, “Kenapa adik nggak bilang sama Bunda dan Kak Nala kalau mau main sepak takraw?”

“Karena Iban tahu kalau Bunda dan Kak Nala sangat pandai memasak, mana mungkin bisa bermain sepak takraw.”

Ayah mengusap kepala Iban, “Ini berlaku untuk semua, apa pun setiap keinginan dan permasalahan harus diceritakan, tidak boleh di pendam sendiri. Boleh cerita ke Bunda, Kak Nala dan Ayah. Kita pasti bisa memecahkan setiap permasalahan jika bersama-sama.”

Iban memeluk kembali Ayah, Kak Nala mengangguk juga Bunda.

Bunda tersenyum geli bahwa kejutan yang dipersiapkan untuk Iban ternyata salah. Ia telah memberikan bola kaki baru yang kini sudah diletakkan di kamar Iban.

Tawa memenuhi ruang tamu sore itu. Kebahagiaan saat melihat Iban kembali dengan canda tawanya, tak ada anggota keluarga yang menyimpan kesedihan di dada. Rumah terasa bernyawa saat semua penghuninya saling memeluk satu sama lain.


Tamat
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

2 komentar

Posting Komentar