Balik Kampung

10 komentar


Dini hari, saat dunia sekitar kami masih sunyi pak mimin mengantarku masuk desa, beliau tukang becak yang mangkal di perempatan tempat bus juga angkutan menurunkan penumpang. Dulu ia adalah langganan ibu ku bila memborong barang-barang untuk mengisi toko kelontong di rumah, jika aku tak perlu pergi ke sekolah maka aku diijinkan ikut serta. Duduk disamping ibu dengan belanjaan penuh hampir menutupi wajahku, tak cukup memberatkan walaupun menimpa tubuhku karena ini hanyalah chiki-chiki beranega merek dan rasa. Aku selalu merengek untuk mencicipinya setiap pulang sekolah dan ibu baru akan memberiku jika aku menghabiskan makan siangku.
Kini rambut pak mimin telah memutih semuanya namun kakinya tetap kokoh mengayuh becaknya yang seringkali menimbulkan bunyi gemeretak, ia bercerita panjang lebar tentang pak lurah yang keukeuh mempertahankan lahan persawahan guna diganti dengan pembangunan rumah-rumah baru.
Kenangan masa kecil ku kembali terlempar jauh kebelakang, di siang terik sepulang sekolah jika aku membandel tidak tidur siang maka aku akan membawa ember kecil, menyebrangi jalan depan rumah menuju kali kecil dengan aliran air bening yang cukup deras. Entah apa motivasiku saat itu karena aku akan menyirami jalanan dengan ember kecilku tersebut, ibuku hanya mengawasiku dari teras rumah seraya menunggu toko kelontong kami, orang-orang yang berlalu lalang juga para pembeli hanya menggeleng-geleng tak paham akan aktivitasku. Jika siang begitu terik maka jalanan akan cepat kering kembali dan aku akan menyiraminya lagi mulai dari ujung hingga seluruh jalan depan rumah terasa dingin.
Setelah itu jika lelah belum datang aku mencari keong meski harus masuk lumpur untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Keong itu ku apakan? Entahlah karena seingatku kami tak memiliki peliharaan apa pun.
Jika sing itu aku kelelahan maka malam harinya sulit bagiku untuk terpejam, dan aku akan menemani ibuku yang sedang berbincang-bincang dengan pembeli yang silih berganti, memandangi langit malam yang bertabur gemerlap bintang. Benda langit yang membuatku terpana dan seringkali menjadi alasanku untuk tak segera beranjak meski malam kian larut.
Ibu menutup tokonya jika dirasa kantuk telah menguasainya, beliau adalah orang yang begitu peduli dengan kesehatan tubuhnya karena ia ingin selalu sehat agar aku tak kehilangan moment apa pun bersamanya. Kunci kuning itu tergantung di depan cermin besar dalam kamar kami, hal yang terakhir kali ku lihat sebelum memejamkan mata.
Pak mimin berhenti di depan rumah minimalis yang dipenuhi dengan pohon cabai rawit, ibu tak lagi membuka warung kelontong beliau lebih suka menghabiskan masa tuanya dengan menanam cabai juga merawat kebun rumah yang di penuhi dengan beraneka macam tanaman obat.
Aku mengangsurkan selembar uang dua puluh ribuan dan pak mimin meninggalkanku dengan senyum penuh terima kasih, mungkin ini rezeki awal pembuka harinya.
Pintu dengan ukiran yang berdiri tegak di hadapanku kini tak segera ku ketuk, aku berbalik arah dan memandang luasnya sawah yang terbentang sepanjang mata, tak banyak yang berubah. Aliran kali ini masih bening juga sama derasnya, suara kodok bersahutan meramaikan dunia yang bermandikan cahya rembulan.
Ibu.. kau lah sosok yang mengajarkanku segalanya, tentang apa pun yang ingin ku ketahui. Kini dengan tubuh mu yang renta tak perlu lah lagi kau mengawasiku untuk bermain karena kita akan bersama-sama duduk di teras membicarakan hal-hal ringan dengan seduhan teh hangat juga biskuit gandum kesukaanmu. Aku rindu, sangat rindu saat kau mengeluarkan segala macam nasehatmu yang sebenarnya telah kuhapal di luar kepala, namun kali ini aku tak akan menghentikannya walaupun setelah beberapa tegukan teh hangat membasahi kerongkonganmu kau akan mengulangnya lagi dan lagi.
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

10 komentar

  1. Keren mba ciani... hehehe
    Rindu ayah. Nah loh, keluar tema nih, hehe

    BalasHapus
  2. Jadi inget di kampung cari keong waktu kecil cari keong :D

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Jika sing itu aku .... Maksudnya siang, kan?

    Kata ku seharusnya disambung dengan kalimat sebelum atau sesudahnya. Contoh: Kupegang tangannya, Kupukul kepalanya hingga dia pingsan, bungaku mekar di taman, dan sebagainya..

    Semangat terus menulisnya, mbak..

    BalasHapus
  5. Jadi ingat kampung halaman ...
    Adus kali (mandi di sungai), nyuri tomat di sawah orang, nyuri semangka di kebun orang ...
    Hadewww masa kecil yang penuh petualangan, meski gk baik :)

    BalasHapus
  6. Jadi pengen pulang kampung ... dulu waktu kecil juga aku suka banget tuh nyiramin tanah yg kering dgn air... biar debunya gk masuk rumah... jadi pengen nulis ttg masa kecilku jadinya... hehe

    BalasHapus

Posting Komentar