Praduga

Baru saja aku hendak meluruskan punggung Ibu sudah kembali menghampiri dengan seperangkat alat panggung.

"Sudah mandi kau, Nak?"

Anggukan menjadi jawaban dari pertanyaan ibu yang di tangannya siap berbagai alat rias.

"Mendekatlah," ucapnya lembut dengan senyum aku menyambut.

Dan sekarang dalam diam tak boleh menolak aku seolah menjadi pemain peran yang sedang bersiap di belakang, di rias. Lipstik merah menyala menjadikan bibirku tebal dan menggoda, sapuan warna-warni menjadikan pipiku bak pelangi, hitam maskara membuat bulu mataku kian legam.

"Apa ini tidak berlebihan, Bu?" tanyaku saat mematut diri pada cermin di tembok yang dipaku.

"Percayalah padaku."

"Aku malu, Bu."

"Hei, sudah-sudah. Ibu hendak membereskan dapur kau diam saja di sini jangan kemana-mana."

Tak boleh ada penolakan, aku gelisah melihat ke arah pintu depan. Ketukan pintu membuatku terlonjak dan butuh beberapa saat menenangkan hati yang bergejolak.

Lelaki yang berdiri di ambang pintu itu melihatku dengan alis hampir bertaut, maju mundur ia untuk melangkah masuk ke rumah, aku menunduk takut sekali jika ia marah. Dua garis lengkung menjadi penanda hati yang bingung.

"Ini semua karena Ibu?"

Aku mengangguk.

Diambilnya sapu tangan dari saku kemejanya, menghapus segala riasan yang berlebihan. Mendongakkan kepalaku untuk menatap matanya.

"Dengar, kasir toko entah seperti apa penampilannya tidak akan mampu menarik hatiku yang sepenuhnya telah jatuh dalam genggamanmu. Maafkan ibuku, dia hanya terlalu menyayangimu. Mengkhawatirkan anaknya melakukan hal yang tidak benar."

Aku menghambur dalam pelukan lelakiku, aku percaya, aku percaya padanya.


------------

*Terinspirasi dari tetangga sebelah 
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

Posting Komentar