Tok...
tok...
Kakiku terayun segera menuju daun pintu, ada rasa khawatir yang
teramat ketika malam menyapa dan kamu belum sampai rumah. Deras hujan
mengaburkan suara ketukan pintu namun telingaku memang sudah begitu
menunggu mendengar apa pun yang berasal dari situ.
Basah kuyup, wajah berantakan, pakaian tak beraturan. Nelangsa hatiku
menatap kamu yang justru tersenyum meneduhkan.
“Maaf ya Dek, tadi nganter Sari pulang dulu, kasihan hujan deras.”
Kilat menerangi malam gulita, petir menyambar kemudian. Aku mematung,
inikah alasanku menanti?
“Maaf nggak ngabarin, kasihan tadi Sari ketakutan, pengen cepet
pulang katanya.”
Dua kalimat yang bermakna sama, Sari dan Perhatian. Baiklah jelas
sudah semuanya.
“Masuk... boleh nggak?”
Nada suaranya menggantung, mungkin mengerti perubahan raut wajahku
dan bingung hendak bagaimana, sudah terlanjur semua terucap.
Aku mengangguk, menuju kamar untuk mengambil pakaian ganti. Tak lama
bunyi kran yang mengalirkan air terdengar berisik dari dalam kamar
mandi. Air langit masih menghujam bumi, menggigilkan hati yang
terabaikan. Ragamu masih, selalu di sisiku namun ada kepingan lain yang
tertinggal di suatu tempat hingga menjadikan bukan seutuhnya kamu.
Tempatku bukan disisimu, biar malam menelan ragaku, biar angin
memeluk tubuhku, biar kilat menerangi jalanku, biar petir menjadi
satu-satunya suara yang menentramkanku, dan kutitipkan jiwa yang tak
mau beranjak darimu, terserah hendak kau apakan.
Kok sedih bacanya ya
BalasHapusyeuh, cowo tuh emang dasar kaa.. sebelll.
BalasHapusemaap marah marah sndiri pan -_-