Yang Ingin Kusampaikan

2 komentar

Dalam balutan masker yang menutup wajah aku masih saja tersipu. Dia berjalan mendekatiku di tempat parkir dengan senyum itu, senyum yang membanggakan juga memberitahukan betapa ia menghargai setiap proses yang aku lakukan untuk meraih mimpi dan cita-cita.

Dilema, menunggunya atau berlalu?

Aku mengharapkan pertemuan tak terduga ini, pertemuan yang mengaburkan keinginan terdalam hatiku untuk melihat garis lengkung yang teramat kurindukan.

Mematung, linglung, ahh bagaimana bisa aku tak tahu apa yang harus aku lakukan?

Ia semakin dekat, jarak kami mungkin sekarang seratus meter, dan senyum itu sudah terlihat jelas, mengaduk-aduk seluruh rasa dalam dada.

Detik berlalu sekarang sudah lima puluh meter, kakiku gemetar, hatiku berlonjak girang.

Hap.

Aku tertawa, kenapa di langkah terakhir ia harus meloncat untuk berada tepat di sampingku? Hancur sudah sikap dingin yang sejak tadi aku pertahankan. Senyumnya semakin melebar. Aku siap mendengar ucapannya kini.

“Hai penulis.”

Mulutku ternganga, apa, kalian dengar tadi, ia menyapaku dengan sebutan penulis. Wajahku menunduk menahan malu.

“Hey... hey... kapan kau akan menulis tentangku?”

Pertanyaan ini yang selalu ia lontarkan setiap bertemu denganku, biasanya aku tak punya jawaban tapi kini sepertinya aku sudah punya.

“Nanti yah.”

“Serius?”

“Iya.”

“Nanti kapan?”

“Nanti jika setiap pagi kau mau membuatkan aku kopi saat bangun tidur.”

Ia mengernyit mencoba memahami kata-kataku, “Maksudmu aku jadi penyeduh kopi di rumahmu?”

Aku tergelak, duh bagaimana bisa ia tidak paham maksudku.

“Bukan itu saja, kau juga harus mencuci bajuku, memasak untukku, membersihkan rumah...”

Demi melihat ekspresi wajahnya yang kian tak menentu aku menggantungkan kalimat.

“Mahal sekali hanya untuk satu cerita yang kau tuliskan untukku,” lirih ia bergumam sendiri, aku tersenyum, gemas rasanya melihat perubahan wajahnya.

“Belum selesai, ada lagi.”

Matanya terbuka lebar, “Ada lagi?”

“Iya, kau juga harus merawat anak.”

“Anak? Anak siapa?”

“Anak kita.”

Aku terkejut jika akhirnya aku sendiri berani mengatakan itu, raut mukanya mencoba menyambungkan setiap kalimatku, lalu tiba-tiba ada warna merah di sekitar pipinya, membuatku mual menunggu jawaban jika ia akhirnya mengerti.

“Hai penulis....”

Bagus, sekarang ia yang menggantungkan kalimatnya. Aku diam menunggu.

Hening, heii... lanjutkan kalimatmu.

Ia masih diam. Baik, ia mempermainkanku.

“Apa?”

“Apanya?”

“Kau tadi memanggilku kan?”

“Iya, kan hanya memanggil.”

“Aaaarggggg..... Benar kau hanya memanggil?”

“Tidak sih.”

“Lalu?”

“Hei penulis, bisakah kau sedikit puitis menyampaikan sesuatu kepada pujaan hati?”

Senyumku mengembang, ke depan akan lebih mudah sebab ia sepenuhnya tahu maksud hatiku. Sementara cukup, itu yang terpenting.

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

2 komentar

Posting Komentar