Gamis Keduaku

9 komentar
Tak lama lagi matahari akan tergilincir di ufuk barat, aku bergegas menjauh dari ruang pertemuan namun Amel menahannya.

"Kebiasaan, magrib sekalian dong."

Segera aku menirukan iklan pasta gigi menanggapi perkataannya, menampilkan deretan gigi yang tersusun rapi dan bersih berkilau, "Aku lagi nggak salat, Mel."

"Masak? Tadi ashar kita masih salat bareng."

"Eh... emm... a.. aku baru aja dapetnya."

Raut wajah Amel menunjukkan ekspresi menimbang tentang kadar kejujuran yang aku utarakan, "Kalau gitu temani aku salat magrib, setelah itu akan kukenalkan dengan seseorang."

"Siapa?"

"Sepupuku, dia juga kuliah disini."

"Ngapain sampe sore disini?"

"Aktivis, udah ahh nanti tanya sendiri sama anaknya, sekarang yuk naik keburu antri kamar mandi."

Lemas sudah aku mengikuti langkah Amel menaiki tangga masjid, di kampusku area salat wanita dipisah dengan pria namun tetap saja ada hal yang menggangu khusukku untuk salat magrib di masjid tercinta.

Kejadiannya dimulai sebulan yang lalu, Amel mengajakku bukan tepatnya memaksa untuk menghadiri kajian setiap ahad bada ashar dan berakhir sebelum azan magrib berkumandang. Sebagai anak rantau yang tak sibuk pada waktu itu aku mengiyakan meski sedikit malas, pengajian? bayangkan, ahh pasti sangat membosankan mendengar ustadzah berceramah.

Berbeda, aku menikmati setiap diskusi yang terjadi, mengagumi setiap beliau menjawab ketidaktahuan kami, memotivasi ketika malas melanda kami untuk berkutat dengan kebodohan, juga syarat itu. Syarat yang mengharuskan setiap yang datang untuk menggunakan gamis.

Gamis? Dalam setiap hal yang terlintas adalah jubah longgar yang mengunci segala tingkah tomboyku. Aku jelas menolak, masak mau belajar aja repot banget sih.

"Hhaa, lima tahun yang lalu saat kau masuk sekolah tinggi negeri, apa protes juga tentang seragam yang harus dikenakan?"

Bibirku maju beberapa centimeter mendengar jawaban Amel, paginya dia membawakan bungkusan rapi yang di dalamnya berisi gamis warna biru muda, cantik sekali juga jilbab lebar segi empat yang senada.

Bukan aku tak punya niatan untuk menambah koleksi gamis, tapi aku terlalu nyaman menggunakan pemberian Amel. Takut jika diluar sana tak ada gamis yang senyaman pemberian Amel. Tak kupedulikan jika setiap datang pengajian selalu dengan gamis yang sama, tak ada yang protes. Mereka memang teman-teman yang super baik.

Amel masuk ke dalam kamar mandi, segera aku berlari menuruni tangga tak lupa menaikkan beberapa centi gamis yang berkibar diterpa angin, semoga tidak terjungkal. Mengendarai motor dan bernapas lega saat bertemu dengan gerbang kampus.

Salat magrib kutunaikan di mushola dekat kampus, kemudian segera kembali untuk menerima omelan Amel, itu pasti.

"Darimana aja?"

"Maaf, tadi ngeprint sebentar."

"Bohong ya?"

"Iya," ahh, susah sekali berkata tak jujur di depan Amel.

"Kita bahas nanti, yuk sepupuku sudah nunggu di depan perpustakaan masjid."

Ada dua sofa yang terletak di sudut ruangan depan perpustakaan, seorang laki-laki duduk tenang dengan ponsel dalam genggaman.

Tunggu, aku menahan langkah Amel lalu berbisik, "Sepupu kamu cowok?"

"Iya"

Hah? jawaban macam apa itu. Ada perlu apa sepupu Amel yang ternyata laki-laki itu ingin bertemu denganku? Tak ada waktu untuk lari, kami sudah di depannya kini, kepalaku tertunduk, malu.

"Kev, ini Sasha," Amel memulai pembicaraan yang memaksaku untuk mendongakkan kepala dan mengangguk kaku.

"Hai Sha, aku Kevin."

"Hai Kevin."

"Maaf ya membuatmu terlambat pulang, aku hanya ingin memberikan ini," Kevin mengangsurkan tas kertas batik, aku terdiam.

"Ini untukkmu, kumohon terimalah."

Amel menyenggol tubuh sisi kiriku, aku mengambil bungkusan pemberian Kevin.

"Baiklah, senang bertemu denganmu Sha, sampai jumpa, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Jelas Amel yang menjawab salam sepupunya sedang aku masih tertegun tak mampu berpikir dengan kejadian barusan. Kevin, orang yang belum kukenal tiba-tiba memintaku untuk bertemu dan memberikan bingkisan tanpa banyak kata lalu berpamitan, apa maksudnya?

"Hey, bengong aja, buka dong"

Tak ada bantahan, aku membuka tas kertas tersebut dan segera mendapati sesuatu terbungkus plastik, kutebak ini baju segera setelah plastik kutanggalkan dan menggelar lipatan kain tersebut aku ternganga. Perpaduan warna hitam dengan hijau muda serta sedikit renda ditepian berhasil membuatku melongo, ini gamis.

Tatapanku mencari jawaban dan Amel mengangguk, "Dia sudah tahu kau hanya punya gamis satu."

"Lalu kenapa?"

"Dia memperhatikanmu, itu saja."

Aku tersenyum, ada gamis lain yang kini menjadi koleksiku, pakaian longgar yang membuatku merasa terjaga, menentramkan dan adem.

"Jadi Sha, tadi kemana?"

"Maaf Mel, aku salat di mushola luar."

"Kenapa?"

Inilah saatnya berbagi cerita hati pada Amel, sesak di dadaku akan segera melebur dan mungkin Amel punya solusi terbaik untuk masalahku.

"Aku mengagumi suara muadzin setiap azan magrib berkumandang dan hatiku selalu berandai jauh akan hal itu, entah bagaimana bisa aku jatuh cinta tanpa melihat rupa."

Amel memelukku, membisikkan hal tak terduga, "Muadzin itu Kevin, Sha."



Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

9 komentar

Posting Komentar